Senin, September 28, 2009

Solusi Hukum Progresif Terhadap Kasus Benih Jagung Hibrida di Jawa Timur

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara Hukum (UUD 1945 Pasal 1 ayat 3). Konsep Negara Hukum mengandung konsekuensi bahwa setiap permasalahan bangsa dan negara harus diselesaikan berdasarkan sistem hukum yang berlaku. Sistem hukum tersebut harus diarahkan untuk mencapai tujuan hukum yaitu : Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian.

Sistem perekonomian di Indonesia memungkinkan pertumbuhan usaha besar dan kecil secara bersama-sama dalam suasana kekeluargaan dan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan perekonomian diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Pembangunan sektor pertanian harus tetap menjadi prioritas utama karena bidang tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak dan berperan besar dalam menunjang keberhasilan sektor pembangunan lainnya. Pembangunan pertanian membutuhkan perlindungan hukum sebab kebanyakan pelaku usahanya adalah petani kecil yang lemah dan kurang berpendidikan. Peraturan perundang-undangan di bidang pertanian seharusnya diarahkan untuk menumbuhkan kemandirian dan kreatifitas petani, sehingga kelak mereka dapat menyejahterakan diri sendiri tanpa tergantung siapapun.

Pembangunan pertanian Orde Baru yang cenderung otoriter dan sentralistik membuat petani tidak mandiri, tidak kreatif, serta selalu bergantung kepada Pemerintah dan produsen saprotan. Ketergantungan tersebut membuat kesejahteraan petani belum juga membaik hingga saat ini, sebab nilai tambah usahanya lebih banyak dinikmati pihak lain terutama produsen saprotan, tengkulak, pedagang besar, dan rentenir.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT) dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT), semestinya dapat menumbuhkan kemandirian, kreatifitas, dan harkat hidup petani kecil. Tujuan mulia UU tersebut dalam prakteknya masih terkendala adanya fakta pemasungan kreatifitas dan kemandirian petani kecil seperti pada kasus benih jagung hibrida di Jawa Timur. Petani jagung di Kediri, Nganjuk, Tulungagung, dan Ponorogo yang ingin memproduksi benih jagung hibrida secara mandiri pada akhirnya harus berurusan dengan aparat penegak hukum, dengan tuduhan melakukan sertifikasi benih secara ilegal berdasarkan laporan PT BISI (anak perusahaan Charoen Pokphand, perusahaan PMA asal Thailand) yang berlokasi di Kediri, Jawa Timur.

UU PVT bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan yakni : petani, produsen, konsumen, dan pemulia. Pengembangan varietas baru senantiasa berkaitan dengan kegiatan pemuliaan, sertifikasi dan produksi benih komersial. Pemulia bertugas mengembangkan varietas baru dan menyediakan benih penjenis dalam jumlah terbatas. BPSB (Badan Pengawas Sertifikasi Benih) bertugas melakukan sertifikasi benih untuk menjamin agar kemurnian varietas yang akan dipasarkan memiliki standar mutu benih yang sesuai dengan kelasnya. Sedangkan perusahaan benih dan petani penangkar benih bertugas memproduksi benih sesuai standar mutu.

Pemuliaan atau pelepasan varietas unggul baru selama ini lebih banyak dilakukan oleh para pemulia yang bekerja di lembaga pemerintah, baik di balai penelitian maupun di perguruan tinggi. Industri benih swasta masih sedikit kontribusinya dalam pembuatan varietas baru, dan kalaupun ada (misalnya pada jagung) hanya menghasilkan benih hibrida. Padahal varietas hibrida masih menghadapi resiko pencurian hibrida induk, karena perlindungan hukum pada varietas baru tersebut boleh dikatakan belum ada.

Dalam komersialisasi benih, benih dari varietas unggul yang telah dilepas oleh Pemerintah disebut Benih Bina (Pasal 13 ayat 1 UU SBT). Benih Bina yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan Pemerintah (Pasal 13 ayat 2). Benih Bina berasal dari hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri dikatagorikan Benih Bermutu (Pasal 8). Sertifikasi merupakan kegiatan untuk mempertahankan mutu benih dan kemurnian varietas (Pasal 13 ayat 2).

Pembangunan pertanian memiliki nilai keunggulan komparatif yang tinggi karena : adanya lahan yang luas dan subur, sinar matahari yang berlimpah sepanjang tahun, banyaknya tenaga kerja, banyaknya keanekaragaman hayati, banyaknya plasma nutfah yang berguna untuk pemuliaan, banyaknya lembaga pendidikan dan penelitian pertanian, dan sebagainya. Keunggulan komparatif tersebut tidak akan ada gunanya jika tidak diikuti dengan keunggulan kompetitif, sebab faktor keunggulan kompetitif lebih menentukan keberhasilan perdagangan komoditi pertanian dalam skala global. Kedua faktor keunggulan tersebut, jika bisa didayagunakan dengan baik dan benar akan dapat mendatangkan kemajuan dan kemakmuran bagi bangsa Indonesia di masa depan.

Permasalahan hukum di bidang pertanian pada masa transisi (era Reformasi) saat ini tidak cukup hanya ditangani lewat peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Menghadapi kondisi transisional dimana persoalan saling berhimpitan, serba darurat dan penuh komplikasi, aparat penegak hukum dituntut mampu melakukan langkah-langkah terobosan dalam menjalankan hukum dan tidak sekedar menerapkan aturan hukum secara hitam-putih. Hal ini penting karena banyak peraturan sudah ketinggalan zaman, peraturan yang ada tidak mampu menjawab permasalahan yang muncul, atau peraturan yang ada saling kontradiktif dan tumpang tindih. Oleh karena itu kehadiran pelaku hukum yang arif, visioner, dan kreatif, mutlak perlu untuk memandu pemaknaan kreatif terhadap aturan yang demikian. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dituntut mencari dan menemukan Keadilan dan Kebenaran dalam batas dan di tengah keterbatasan kaidah hukum yang ada. Inilah inti terobosan Hukum Progresif.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan karya tulis ini terdiri dari :

1. Apakah UU SBT dan UU PVT dapat mendorong kemandirian dan kreatifitas

petani kecil dalam permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur ?

2. Apakah praktek penegakan hukum dapat mendorong kemandirian dan kreatifitas

petani kecil dalam permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur ?

3. Apakah Hukum Progresif dapat memberikan solusi atas permasalahan tersebut ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dan manfaat penulisan karya tulis ini adalah :

1. Melakukan kajian hukum permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur

dikaitkan dengan upaya mendorong kemandirian dan kreatifitas petani kecil.

2. Memberikan solusi hukum atas permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur

guna mendorong kemitraan usaha antara perusahaan benih dengan petani kecil .

3. Mendorong peran petani kecil dalam kegiatan sertifikasi dan pemuliaan tanaman,

untuk meningkatkan kemandirian, kreatifitas, dan kesejahteraan petani kecil.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peranan Hukum dalam Pembangunan Pertanian

Hukum merupakan bagian integral kehidupan manusia, hukum mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan bersama. Sebagai konsekuensinya, maka tata hukum bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan hukum bagi manusia yang berujung pada kepastian hukum. Penghormatan dan perlindungan hukum untuk manusia ini merupakan pencerminan dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

Kaitan perlindungan hukum dengan hak asasi manusia juga tersirat dalam UUD 1945 (Hasil Amandemen) Pasal 28 D Ayat (1) yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Sedangkan Pasal 28 I Ayat (2) menyatakan : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Pada dasarnya ketentuan berupa undang-undang merupakan tonggak arahan yang diperlukan untuk mendorong dan melindungi kegiatan dalam menghasilkan varietas tanaman yang memiliki sifat unggul. Para pihak yang bergerak dalam kegiatan pemuliaan membutuhkan satu pengaturan khusus yang dapat memberikan jaminan dan perlindungan hukum secara jelas dan tegas. Perlindungan dimaksud berupa pengakuan hak atas kekayaan intelektual bagi hasil invensi berupa varietas baru tanaman.

Ketentuan internasional yang melindungi varietas baru tanaman adalah International Convention for The Protection of New Varieties of Plants (UPOV Convention) yang dibentuk untuk melindungi hak pemulia (breeder’s rights). Pembentukan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT) banyak mengadopsi UPOV Convention.


2.2. Pentingnya Kemandirian dan Kreatifitas Petani

Pembangunan pertanian selama ini lebih didominasi Pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Petani lebih diperankan sebagai pelaksana kebijakan Pemerintah dan obyek pembangunan, bukan subyek pembangunan. Pembangunan pertanian yang didominasi Pemerintah tidak sesuai prinsip pertanian kerakyatan yang bertumpu pada kemampuan dan kemandirian petani. Kemandirian petani diperlukan agar visi dan misi pertanian berkelanjutan dapat tercapai demi menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi kini dan mendatang. Kemandirian mendo-rong kreativitas petani hingga terwujud pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

Menurut F. Rahardi, petani di negara tetangga yakni Malaysia, Thailand, Filipina, lebih mandiri karena mampu membentuk kelompok, koperasi dan asosiasi yang terorganisir sesuai jenis komoditasnya. Kurangnya kemandirian petani Indonesia disebabkan faktor kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah. Menurut James C. Scott petani miskin sering tidak berani mengambil resiko karena jika salah akan berakibat fatal bagi keluarganya. Pendapat ini dibantah Prof. Dr. Kabul Santoso yang mengatakan bahwa petani tembakau di Jember terbukti berani menghadapi resiko, dan bahkan sudah terbiasa menjalin kemitraan usaha dengan perusahaan besar.

Ketegaran sektor agribisnis terlihat dari kemampuannya tetap tumbuh sebesar 0,22 persen saat krisis ekonomi 1998, sementara perekonomian nasional secara agregat mengalami kontraksi hebat hingga minus 13,7 persen. Kejadian ini menurunkan penyerapan tenaga kerja nasional 2,13 persen (6.429.500 orang), di lain pihak sektor agribisnis justru mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja 432.350 orang.

Bung Karno menyatakan, kemiskinan bukan hanya disebabkan kekurangan sandang pangan tapi juga karena miskin pengetahuan dan kesadaran. Kesejahteraan utuh hanya dapat dicapai bila manusia Indonesia sehat mental-emosional, dan sejahtera jiwanya. Sambil mengutip Swami Vivekananda, Bung Karno berkata : “Kita sudah menangis cukup lama, jangan menangis lagi, belajar hidup mandiri, dan jadilah satria sejati !”.


2.3. Teori Hukum Progresif dalam Pembangunan Pertanian

Teori Hukum Progresif juga berlaku dalam pembangunan pertanian di masa transisi (era Reformasi) saat ini. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu “Hukum untuk Manusia”. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum bukan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan Hukum Progresif menganut ideologi : “Hukum yang Pro-Keadilan dan Hukum yang Pro-Rakyat”.

Hukum Progresif bersifat emansipatoris (membebaskan). Hukum Progresif dekat dengan paham social engineering (rekayasa sosial) dari Roscoe Pound (ahli hukum AS, pelopor Pragmatisme Hukum). Paham ini menggunakan “Hukum sebagai Alat Rekayasa Sosial” dengan mewajibkan pelaku hukum menemukan cara-cara paling baik untuk memajukan dan mengarahkan masyarakat. Hukum berpotensi besar melakukan perubahan sosial secara terencana sebab selain memiliki legalitas formal, hukum memiliki kewenangan pemaksa yang dalam bekerjanya didukung aktivitas birokrasi.

Hukum Progresif sangat mementingkan peran Diskresi karena Hukum Progresif lebih mengutamakan tujuan dan konteks daripada teks aturan semata, maka soal Diskresi menjadi sangat urgen dalam penyelenggaraan hukum. Dalam Diskresi, penyelenggara hukum dituntut memilih dengan bijaksana bagaimana harus bertindak. Diskresi yang dilakukan penyelenggara hukum semata-mata atas dasar pertimbangan kegunaan dan kefungsian tindakan dalam mencapai tujuan yang lebih besar demi menjaga kewibawaan hukum itu sendiri. Diskresi ditempuh karena sarana hukum yang ada dirasa kurang efektif dan terbatas. Menurut Apeldoorn, tujuan yang dirumuskan dalam ketentuan hukum sering kabur sehingga memberi kesempatan pelaksananya untuk menambahkan atau menafsirkan sendiri sesuai konteks situasi yang ia hadapi. Diskresi atau discretion secara harfiah dapat diartikan sebagai : pertimbangan, kemerdekaan bertindak, atau kebijaksanaan.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Kajian Hukum Permasalahan Benih Jagung Hibrida di Jawa Timur

Permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur diawali tahun 1997 ketika seorang petani di Kediri bernama Suwoto dituduh oleh PT BISI melakukan sertifikasi ilegal. Ia sudah sampai tahap penyidikan namun dilepas karena saat itu PT BISI hendak dibakar oleh massa yang tidak terima atas perlakuan tidak adil yang menimpa Suwoto.

Kasus yang dialami Suwoto ternyata juga menimpa belasan petani lain di Jawa Timur. Petani-petani jagung tersebut dituduh melakukan pemuliaan dan penangkaran benih jagung hibrida secara ilegal. Tindakan tersebut dilakukan petani karena mahalnya harga benih jagung hibrida, serta adanya keharusan petani untuk selalu membeli benih jagung hibrida, sebab benih tersebut sengaja dirancang perusahaan besar hanya bisa dipakai 1-2 kali tanam saja. Mahalnya harga benih jagung hibrida juga dipicu adanya hak PVT yang dimiliki perusahaan besar sebagai pemulia tanaman berdasarkan UU PVT.

Hak PVT adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada pemulia dan atau pemegang hak PVT untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu (Pasal 1 angka 2 UU PVT). Pemegang hak PVT berhak memberi lisensi kepada orang atau badan hukum lain berdasarkan surat perjanjian lisensi (Pasal 42 UU PVT). Pemberian lisensi akan diikuti pembayaran royalty kepada pemegang hak PVT.

Perlindungan hukum kepada pemulia tanaman berdasarkan UU PVT sesungguhnya bermanfaat mendorong kemajuan pemuliaan tanaman dan pembuatan varietas unggul baru di Indonesia. Meskipun demikian, UU PVT tetap harus memperhatikan kepentingan mayoritas petani kecil. Kemandirian dan kreatifitas petani kecil dalam kegiatan pemuliaan tanaman dan penangkaran benih harus didorong dan diberi payung hukum. Produsen benih skala besar juga harus didorong agar membangun kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan petani kecil agar dapat tumbuh bersama dalam suasana kekeluargaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Praktek kanibalisme usaha besar terhadap usaha kecil, seperti yang dianut paham kapitalisme gaya lama, harus segera ditinggalkan karena tidak sesuai dengan perkembangan jaman.

Pemberdayaan rakyat kecil saat ini telah menjadi program nasional dan telah diatur dalam UU 20/ 2008 tentang UMKM. Program CSR (Corporate Social Responsibility) sebagaimana diatur UU 40/ 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah juga program pemberdayaan rakyat kecil yang dilakukan oleh perusahaan besar. Fakta hukum ini menunjukkan bahwa di masa kini sudah bukan jamannya lagi perusahaan melakukan praktek bisnis gaya Orde Baru yang penuh dengan keserakahan dan ketimpangan sosial.

Petani-petani jagung tersebut dituduh PT BISI melakukan sertifikasi ilegal, pemalsuan benih, pemalsuan cara tanam, pencurian benih induk dan pengedaran benih jagung tanpa label. Namun PT BISI sebagai pemegang hak PVT tidak dapat membuktikan tuduhan pemalsuan benih BISI-2 dan tuduhan meniru cara tanam, sebab ternyata cara tanam perusahaan tersebut tidak dipatenkan. PT BISI juga tidak dapat membuktikan tuduhan pemalsuan benih karena syarat dari tanaman yang dapat memperoleh hak PVT adalah harus : baru, unik, stabil (meski ditanam berulang), dan seragam. Benih jagung hibrida BISI-2 tidak memenuhi syarat karena sifatnya tidak stabil saat ditanam ulang, sehingga tuntutan kepada petani akhirnya hanya diarahkan pada dakwaan sertifikasi ilegal.

Petani-petani kecil di Jawa Timur tersebut sesungguhnya hanya ingin menangkarkan benih jagung demi mempertahankan kelangsungan usaha tani mereka. Sungguh ironis jika niat baik petani kecil untuk mandiri, kemudian harus dibenturkan dengan UU yang justru dibuat untuk memberdayakan nasib mereka. Dalam konsiderans UU SBT dijelaskan bahwa UU tersebut dibentuk dengan tujuan mengatur pengelolaan dan pemanfaatan beraneka ragam sumber daya alam nabati bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, serta untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia demi mewujudkan pertanian yang maju, efisien, dan tangguh. Pasal 3 huruf a dan b UU SBT menyatakan Sistem Budidaya Tanaman bertujuan meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani dan mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.

UU SBT membuka peluang setiap orang (termasuk petani kecil) dan badan hukum melakukan kegiatan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul (Pasal 11). Varietas hasil pemuliaan tanaman tersebut sebelum diedarkan harus lebih dulu dilepas oleh Pemerintah sebagai Benih Bina. Benih Bina yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah. Benih Bina yang lulus sertifikasi dan apabila akan diedarkan wajib diberi label (Pasal 12-13). PP Nomor 44 Tahun 1995 Tentang Perbenihan, Pasal 18 ayat (1), menyatakan varietas unggul berasal dari varietas baru atau varietas lokal yang mempunyai potensi tinggi. Pasal 18 ayat (2) menyatakan terhadap varietas baru maupun varietas lokal harus dilakukan uji adaptasi sebelum dinyatakan sebagai varietas unggul. Menurut Prasetyo Sumaryo, ketentuan uji adaptasi (uji multilokasi) berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37 Tahun 2006 dinilai sangat memberatkan para pemulia tanaman pangan. Satu kali uji multi lokasi memakan biaya Rp 20 juta, dikalikan 20 wilayah (musim hujan dan kemarau), sehingga total biaya sebesar Rp 400 juta. Ketentuan semacam ini tentu saja sangat sulit dipenuhi pemulia tanaman sekelas petani kecil.

UU PVT tidak mengatur peran petani kecil, padahal dalam prakteknya aktor pembuat benih kebanyakan adalah petani kecil yang selama ini dimanfaatkan produsen benih besar. Masyarakat lokal sudah sejak lama berjasa besar dalam pelestarian plasma nutfah dengan melakukan perkembangbiakan benih secara mandiri dan turun temurun. UU PVT hanya mengatur varietas unggul dan varietas introduksi, namun tidak menying-gung benih unggul hasil karya petani lokal, sehingga semakin menguatkan kesan pembuatan UU PVT lebih didorong oleh kepentingan asing (perusahaan multinasional).

UU PVT banyak mengadopsi ketentuan internasional tentang perlindungan varietas tanaman (UPOV convention) tanpa banyak perubahan berarti, sehingga kurang sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara berkembang. Hal ini berbeda dengan UU PVT di India tahun 2001 (Protection of Plant Variety and Farmers’ Right Act) yang lebih mampu melindungi pemulia tanaman dan petani lokal. India juga menawarkan Convention of Farmers and Breeders (CoFaB) yang lebih cocok dengan kondisi negara berkembang karena CoFaB dapat melindungi pemulia tanaman dan petani kecil.

3.2. Penegakan Hukum dalam Kasus Benih Jagung Hibrida di Jawa Timur

Sistem hukum terdiri dari aturan hukum dan penegakan hukum. Sistem hukum dapat berjalan dengan baik apabila aturan hukum dan penegakan hukum dilaksanakan seimbang dan sejalan. Aturan hukum yang baik tidak akan bermanfaat jika tidak didukung penegakan hukum yang baik. Faktor penegakan hukum hingga saat ini masih tetap menjadi permasalahan utama di Indonesia, disebabkan oleh masih kuatnya budaya hukum warisan Orde baru yang masih bernuansa KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

Kualitas negara hukum tidak akan menjadi lebih baik dengan hanya mengutamakan unsur perundang-undangan, tetapi harus juga dengan meningkatkan kualitas manusia, baik sebagai aparat penegak hukum yakni hakim, jaksa, advokat, polisi, birokrat, legislator, maupun rakyat biasa. Hukum hanyalah alat yang bisa digunakan demi tujuan positif atau negatif tergantung kesadaran manusia sebagai pelaku hukum. Oleh karena itu menurut Prof. Satjipto Rahardjo kita harus lebih dulu berkonsentrasi pada pembangunan budi pekerti manusia dalam rangka membangun negara hukum, atau dalam istilah beliau “santun dulu baru bernegara hukum”.

Permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur juga disebabkan proses penegakan hukum yang kurang baik. Penegak hukum dalam kasus ini kurang memahami kaitan konteks peristiwa dengan pesan moral UU SBT dan UU PVT. Penegak hukum lebih melihat konteks peristiwa secara hitam-putih. Mereka kurang memahami jiwa UU yang semestinya lebih membela kepentingan petani kecil yang lemah. Mereka terlalu cepat menghakimi kreatifitas petani kecil untuk memproduksi benih jagung hibrida secara mandiri sebagai “kejahatan” yang harus dihukum. Para penegak hukum itu tidak dapat melihat kebenaran tersembunyi : betapa hebat petani kecil yang miskin, tidak terdidik dan tanpa fasilitas pemerintah, ternyata juga mampu membuat benih jagung hibrida !

Jaksa Penuntut Umum mendakwa para petani melakukan sertifikasi ilegal berdasarkan Pasal 61 ayat (1) huruf b UU SBT dengan ancaman pidana penjara 12 bulan dan denda Rp 50 juta. Hakim juga menyatakan bahwa perbuatan para terdakwa merupakan bagian dari sertifikasi. Pendapat Jaksa dan Hakim tersebut patut diragukan kebenarannya, karena bagaimana mungkin kegiatan penangkaran benih mandiri disimpulkan sebagai kegiatan sertifikasi, sebab Pasal 1 angka 6 UU SBT dengan tegas menyebutkan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman setelah melalui peme-riksaan, pengujian, dan pengawasan, serta memenuhi persyaratan untuk diedarkan. Jaksa dan Hakim, jika ingin menjerat para petani dengan dakwaan sertifikasi illegal, seharusnya membuktikan lebih dahulu : (a) apa benar terdakwa berniat menerbitkan sertifikat benih tanaman, (b) apa benar terdakwa telah berupaya mewujudkan niatnya menerbitkan sertifikat benih tanaman, seperti misalnya mencetak blanko sertifikat atau mencetak formulir pendaftaran untuk memperoleh sertifikat, dan (c) apakah benar terdakwa telah berupaya menyediakan semua perangkat yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian atas benih tanaman yang akan disertifikasi. Tindakan para petani kecil tersebut sejatinya bukan tergolong sertifikasi ilegal, me-lainkan hanya penangkaran benih untuk dipakai di kalangan kelompok mereka sendiri.

Tiga belas petani yang terjerat kasus serupa terpaksa harus berurusan dengan aparat hukum dan mendapatkan vonis yang berbeda-beda (lihat Lampiran 1). Seorang di antaranya yakni Budi Purwo Utomo, petani Kediri, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya atas putusan PN Kediri yang menjatuhkan vonis enam bulan dengan percobaan satu tahun, namun hasil banding ternyata menguatkan putusan PN Kediri sehingga ia pun mengajukan kasasi ke MA. MA menolak permohonan kasasi tersebut namun tanpa disertai alasan mengapa dalil pemohon kasasi dinyatakan tidak benar. Dalam permohonan kasasinya, Budi mendalilkan bahwa PN Kediri dinilai telah salah menerapkan hukum karena kegiatan penangkaran benih tidak sama dengan sertifikasi.

Penegakan hukum yang baik mensyaratkan adanya penegak hukum yang arif, visioner dan kreatif dalam menafsirkan aturan hukum. Penegakan hukum semestinya dilakukan dengan tujuan melindungi kepentingan petani kecil dan pengusaha besar agar dapat tumbuh bersama dalam suasana kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian, harus selalu dijadikan asas penegakan hukum, sehingga semua potensi bangsa dapat didayagunakan demi kemajuan Indonesia di masa depan.

3.3. Solusi Permasalahan dalam Perspektif Hukum Progresif

Pada masa transisi (era Reformasi) sejak 1998, banyak permasalahan hukum yang diselesaikan layaknya kondisi normal. Hampir tidak ada terobosan hukum yang cerdas dalam menghadapi munculnya berbagai macam persoalan. Hukum hanya dijadikan sebagai pekerjaan rutinitas belaka dan dipermainkan layaknya barang dagangan, sehingga sulit mewujudkan “Hukum yang Pro-Rakyat dan Hukum yang Pro-Keadilan”.

Penggunaan hukum sebagai alat kepentingan penguasa dan/atau pemodal besar sudah sering terjadi, termasuk dalam kasus benih jagung hibrida di Jawa Timur. PT BISI menjerat petani di Kediri, Nganjuk, Ponorogo, Tulungagung, dengan tuduhan sertifikasi liar padahal yang mereka lakukan hanya sebatas penangkaran benih tanpa bermaksud melakukan sertifikasi, sebab benih hanya digunakan di kalangan kelompok tani sendiri.

Permasalahan hukum di bidang pertanian pada masa transisi (era Reformasi) tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara hukum dalam kondisi normal. Gagasan Prof. Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif sangat dibutuhkan untuk menghadapi permasalahan hukum di masa transisi. Penerapan hukum, dalam pandangan Teori Hukum Progresif, tidak lagi berpusat pada peraturan semata, tetapi juga pada kreatifitas penegak hukum dalam mengaktualisasikan hukum, sesuai ruang waktu, konteks peristiwa, dan kondisi sosial budaya masyarakat. Hukum Progresif tidak hanya bersifat responsif, tetapi juga harus bersifat antisipatif terhadap kemungkinan munculnya permasalahan baru.

Hukum Progresif mensyaratkan adanya tiga hal yaitu : (a) pembaharuan hukum secara berkesinambungan, (b) komitmen penguasa (eksekutif, legislatif, yudikatif) untuk selalu bertindak sesuai koridor hukum, dan (c) pemanfaatan Diskresi yang bertanggung jawab dalam praktek penegakan hukum. Pembaharuan hukum secara berkesinambungan diperlukan agar aturan hukum senantiasa sejalan dengan perkembangan masyarakat. Komitmen penguasa diperlukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Pemanfaatan Diskresi diperlukan agar para penegak hukum dapat menerapkan aturan hukum sesuai konteks peristiwa dan kondisi sosial-budaya masyarakat.

Permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur, jika hendak diselesaikan melalui pendekatan Hukum Progresif, maka pertama kali harus dilakukan pembaharuan UU SBT khususnya ketentuan yang merugikan petani kecil. Ketentuan yang patut direvisi adalah tentang sertifikasi benih, dimana petani kecil harus tetap diberi hak untuk melakukan penangkaran benih secara mandiri dengan syarat : (a) hasil benih digunakan di dalam kelompok tani sendiri, (b) petani tidak boleh menjual benih ke kelompok lain tanpa ijin Dinas Pertanian setempat, (c) benih induk berasal dari hasil pemurnian petani. Di samping itu, ketentuan sertifikasi benih bagi petani kecil juga harus dipermudah.

Pembaharuan UU PVT juga harus dilakukan, terutama yang berkaitan dengan upaya mendorong peran petani kecil dalam pembuatan Benih Unggul Lokal. Benih Unggul Lokal adalah benih yang hanya diakui keunggulannya di daerah tertentu sehingga uji cobanya cukup dilakukan di daerah tertentu. Petani kecil punya potensi besar untuk ikut berpartisipasi dalam pembuatan Benih Unggul Lokal, sehingga petani kecil lebih berse-

mangat melestarikan plasma nutfah di daerahnya. Di sisi lain, perusahaan benih besar harus didorong memproduksi Benih Unggul Nasional yang skala ekonominya jauh lebih besar sehingga harga jualnya lebih murah. Perusahaan benih skala besar harus tetap diberi kesempatan ikut mengembangkan Benih Unggul Lokal, dengan syarat harus mengajak kerjasama kelompok petani lokal dalam bentuk kemitraan usaha yang saling menguntungkan. Dengan cara demikian, perusahaan benih besar dan petani kecil sama-sama diarahkan untuk menghasilkan Benih Unggul Nasional dan Benih Unggul Lokal sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan semua petani di Indonesia.

Sesuai UU PVT, petani punya hak menggunakan benih dari hasil tanamannya sendiri baik yang berasal dari varietas yang dilindungi dan yang tidak dilindungi, selama tidak diperdagangkan. Pengertian “tidak diperdagangkan” harus diperjelas, misalnya tidak boleh diperdagangkan di luar kelompok taninya. Pemakaian benih unggul tidak boleh dipaksakan, sebab petani kecil juga memiliki pertimbangan ekonomis yang selalu ingin mendapatkan benih unggul berkualitas dengan harga terjangkau.

Selain pembaharuan hukum yang berkesinambungan, pembangunan hukum di bidang pertanian juga harus diikuti dengan komitmen kuat dari penguasa (eksekutif, legislatif, yudikatif) untuk senantiasa bertindak sesuai koridor hukum, sehingga dapat lebih memperkuat wibawa hukum di mata masyarakat. Budaya hukum bernuansa KKN harus segera ditinggalkan agar rakyat makin percaya dengan para penyelenggara negara.

Penggunaan Diskresi yang bertanggung jawab harus didorong agar penegak hukum dapat mengatasi segala macam permasalahan yang banyak muncul di masa transisi. Penggunaan Diskresi diarahkan untuk mewujudkan Keadilan, Kemanfaatan, Kepastian. Penggunaan Diskresi harus tetap diawasi, baik oleh lembaga internal maupun eksternal, agar tidak diselewengkan untuk tujuan pribadi. Penggunaan Diskresi tidak terlepas dari kemampuan penegak hukum untuk menafsirkan hukum secara tepat, sesuai konteks peristiwa dan kondisi sosial-budaya yang melatarbelakangi setiap kasus, sehingga keputusannya tidak bias dan benar-benar menjunjung tinggi Keadilan dan Kebenaran.

Penegak hukum jangan terburu-buru menghakimi “kesalahan” sebagai “kejahatan”. Kesalahan yang timbul karena niat baik justru harus dihargai, sebab kesalahan semacam ini dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan sejati. Sebaliknya, kesalahan yang timbul karena niat jahat (contoh : korupsi) harus diberantas karena merusak kehidupan ber-masyarakat. Menurut pakar motivasi, Darmadi Darmawangsa, “kesalahan/ kegagalan” adalah salah satu kunci sukses keberhasilan sejati. Tidak ada kesuksesan besar tanpa kegagalan besar. Semakin besar orang semakin banyak kegagalannya, sehingga kita perlu dididik untuk lebih dulu “berani gagal” sebelum menjadi orang yang sukses. Masyarakat Indonesia hingga kini lebih condong berbudaya “siap menang tetapi tidak siap kalah” sehingga bangsa kita sulit menciptakan prestasi hebat di tingkat dunia.

Budaya takut kalah atau takut gagal dapat menghambat kemajuan bangsa Indonesia. Budaya semacam ini dapat mewujud dalam banyak bentuk, misalnya : (a) rendahnya minat berwirausaha di kalangan generasi muda, (b) keengganan partai politik menjadi oposisi yang baik, (c) maraknya budaya jalan pintas lewat KKN, (d) rendahnya minat menjadi penemu dan pelopor, (e) keengganan bersaing secara sehat, (f) rendahnya penghargaan terhadap prestasi, (g) suburnya budaya konsumerisme, dan lain-lain.

Pemerintah Daerah dalam kasus ini kurang membela kepentingan petani kecil. Para penguasa tersebut tidak sadar, banyak penemuan besar justru dilakukan oleh orang-orang sederhana dengan cara sederhana dan dengan biaya murah. Wright Bersaudara, tukang reparasi sepeda yang tidak lulus SMA dan tanpa fasilitas pemerintah, ternyata berhasil menemukan pesawat terbang dengan biaya hanya 1.000 dollar, sementara Prof. Samuel L. Langley yang dibiayai Pemerintah AS hingga 50.000 dollar justru gagal. Thomas A. Edison, anak miskin yang hanya lulus SD, juga berhasil menemukan bola lampu listrik dan ribuan penemuan lain tanpa bantuan pemerintah, sehingga Edison pernah berkata “Kesuksesan = 1% Ilham + 99% Kerja Keras”. Bibit-bibit manusia unggul sejatinya bisa muncul di negara manapun, termasuk di Indonesia, asalkan ada lingkungan sosial-budaya yang mendukung, kebebasan berekspresi, perlindungan hukum, dan kebijakan penguasa yang pro terhadap kemandirian dan kreatifitas.

Penyelesaian non-litigasi (di luar pengadilan) melalui negosiasi dan mediasi, dalam kasus benih jagung hibrida di Jawa Timur, sebaiknya lebih diutamakan dibandingkan penyelesaian litigasi, sebab penyelesaian non-litigasi dapat menghasilkan win-win solution. Perusahaan besar dan petani kecil harus didorong agar tumbuh bersama dalam suasana kekeluargaan. Kapitalisme gaya lama yang lebih menguntungkan perusahaan besar dan mematikan usaha kecil, serta paham komunisme yang mempertentangkan kelas sosial, harus ditinggalkan karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. UU SBT dan UU PVT belum secara tegas mengatur tentang peran petani kecil, sehingga dapat berpotensi membelenggu kemandirian dan kreatifitas petani kecil. Ketentuan tentang sertifikasi benih dan uji multi lokasi dinilai sangat memberatkan petani kecil, sehingga dapat menciptakan ketergantungan petani kecil kepada benih buatan prabrik. UU SBT dan UU PVT juga kurang mendorong tumbuhnya kemitraan usaha antara perusahaan benih skala besar dengan petani penangkar benih skala kecil.

2. Penegakan hukum kasus benih jagung hibrida di Jawa Timur terkesan lebih condong membela kepentingan perusahaan besar, serta kurang mengutamakan pendekatan non-litigasi (lewat negosiasi dan mediasi) sehingga tidak tercapai win-win solution. Penegak hukum kurang memperhatikan asas Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian, serta tidak mampu memanfaatkan Diskresi secara baik dan bertanggung jawab.

3. Teori Hukum Progresif dapat diterapkan sebagai solusi permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur, melalui tiga cara : (a) pembaharuan aturan hukum secara berkesinambungan, (b) komitmen penguasa untuk selalu bertindak sesuai koridor hukum, (c) penggunaan Diskresi yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum.

4.2. Saran

1. Pemerintah dan DPR diharapkan merevisi UU SBT dan UU PVT, terutama yang berkaitan dengan ketentuan sertifikasi benih dan varietas unggul lokal, sehingga petani kecil dapat ikut berpartisipasi dalam kegiatan pemuliaan dan produksi benih.

2. Pemerintah dan DPR harus terus mendorong kemandirian dan kreatifitas petani, serta mendorong tumbuhnya pola kemitraan usaha antara perusahaan besar dan petani kecil, agar mereka dapat tumbuh bersama dalam suasana kekeluargaan dan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

3. Penegak hukum harus lebih arif dalam memahami aturan, konteks peristiwa, dan kondisi sosial budaya masyarakat, sehingga dapat memberikan putusan yang tepat dan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak (win-win solution).

4. Perusahaan besar dan petani kecil harus didorong untuk bekerja sama memproduksi Benih Unggul Nasional dan Benih Unggul Lokal, agar kedua belah pihak dapat mengembangkan potensi dirinya secara maksimal demi kemajuan bangsa dan negara.


Pemanfaatan Hukum Lingkungan Sebagai Alat Rekayasa Sosial dalam Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Musibah krisis moneter 1997/1998 yang kemudian diikuti krisis multidimensi, disamping berdampak negatif juga berdampak positif yakni lahirnya era Reformasi yang ditandai tumbuhnya demokrasi, kebebasan berekspresi, dan keterbukaan informasi, sehingga memungkinkan munculnya ide-ide baru, orang-orang baru, cara-cara baru, dan lembaga-lembaga baru. Era Reformasi juga memungkinkan kita mengetahui segala permasalahan bangsa yang selama ini cenderung ditutupi penguasa Orde Baru. Permasalahan tersebut antara lain adanya keserakahan dalam eksploitasi sumber daya alam oleh elit penguasa dan pengusaha yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, pemiskinan penduduk, dan kesenjangan sosial.

Pada masa Reformasi, sejak jatuhnya Presiden Soeharto 21 Mei 1998, banyak terjadi aksi penjarahan dan perusakan lingkungan hidup yang dilakukan rakyat atas perintah oknum aparat dan pemilik modal. Aksi-aksi tersebut terjadi karena lemahnya penegakan hukum yang dipicu hilangnya rasa hormat rakyat kepada aparat hukum akibat terkuaknya banyak praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa Orde Baru.

Permasalahan lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dari upaya Pembangunan Berkelanjutan. Indonesia sebagai negara berkembang harus terus berusaha membangun agar tidak tertinggal dari negara-negara lain. Agar manfaat pembangunan bertahan lama, maka kita harus memperhatikan pelestarian lingkungan hidup. Strategi pembangunan Orde Baru yang lebih mementingkan aspek pertumbuhan ekonomi terbukti gagal karena mengabaikan aspek pemerataan, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan hidup.

Permasalahan hukum di masa transisi atau di masa krisis tidak bisa ditangani lewat prosedur hukum yang biasa berlaku pada saat kondisi normal. Menghadapi kondisi transisional dimana persoalan saling berhimpitan, serba darurat dan penuh komplikasi, aparat penegak hukum dituntut mampu melakukan langkah-langkah terobosan dalam menjalankan hukum dan tidak sekedar menerapkan aturan hukum secara hitam-putih. Hal ini penting karena banyak peraturan sudah ketinggalan zaman, peraturan yang ada
tidak mampu menjawab permasalahan yang muncul, ataupun peraturan yang ada saling kontradiktif dan tumpang tindih. Karena itu kehadiran pelaku hukum yang arif, visioner, dan kreatif mutlak perlu untuk memandu pemaknaan kreatif terhadap aturan-aturan yang demikian. Aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, hakim dituntut mencari dan menemukan Keadilan dan Kebenaran dalam batas dan di tengah keterbatasan kaidah hukum yang ada. Inilah inti terobosan Hukum Progresif.

Teori Hukum Progresif tidak dapat dipisahkan dari pendapat Prof. Satjipto Rahardjo SH tentang kekacauan hukum dan penegakan hukum di Indonesia pada era Reformasi. Teori ini mencoba memberi solusi permasalahan tersebut antara lain melalui dua cara : (1) pemanfaatan Hukum sebagai alat rekayasa sosial, dan (2) pemanfaatan Diskresi yang bertanggung jawab dalam upaya penegakan hukum. Penggunaan kedua cara tersebut harus diarahkan untuk mencapai dua tujuan Hukum Progresif yaitu “Hukum yang Pro-Keadilan” dan “Hukum yang Pro-Rakyat”, dan juga harus diarahkan untuk mewujudkan tiga tujuan hukum menurut Gustav Radbruch yaitu : Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum. Hukum yang Pro-Rakyat sesungguhnya adalah hukum yang juga menjunjung tinggi Kemanfaatan dan Kepastian Hukum. Penulis selanjutnya mengkaji kedua cara tersebut dikaitkan dengan fungsi Hukum Lingkungan dalam mendukung Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini terdiri dari :
1. Apakah fungsi Hukum Lingkungan dalam mendukung Pembangunan Berkelanjutan dan
Pelestarian Lingkungan Hidup ?
2. Bagaimana seharusnya Hukum Lingkungan dimanfaatkan sebagai alat rekayasa sosial pada
masa transisi (era Reformasi) saat ini ?
3. Bagaimana seharusnya Diskresi dimanfaatkan dengan benar dalam rangka penegakan Hukum
Lingkungan pada masa transisi (era Reformasi) saat ini ?
Ketiga rumusan masalah tersebut akan dijawab, dikaji, dan dijabarkan lebih lanjut dalam Bab Pembahasan (Bab III). Penulis juga membuat skema kerangka konseptual sebagaimana disajikan pada Tabel 1 (terlampir) untuk memberikan gambaran sederhana perihal alur pemikiran dalam mengkaji ketiga rumusan masalah tersebut.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup

Pembangunan Berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup menurut UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 angka 3, ialah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Pengertian “Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup”, menurut Pasal 1 angka 5, adalah rangkaian upaya memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Pengertian “Daya Dukung” lingkungan hidup, menurut Pasal 1 angka 6 adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain; sedangkan pengertian “Daya Tampung” lingkungan hidup menurut Pasal 1 angka 8 adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

Isu lingkungan hidup dan pembangunan telah menjadi agenda penting masyarakat internasional di forum regional dan multilateral sejak tahun 1972 setelah pelaksanaan konferensi internasional mengenai Human Environment di Stockholm, Swedia dan khususnya setelah KTT Bumi di Rio De Janeiro, Brazil tahun 1992. Sejak itu, masyarakat internasional menilai bahwa perlindungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama dan tidak terlepas dari aspek pembangunan ekonomi dan sosial. Negara-negara berkembang, berhasil menuangkan hal-hal penting bagi kepentingan mereka di dalam kesepakatan yang tertuang di dalam prinsip-prinsip Deklarasi Stockholm, Deklarasi Rio De Janeiro, dan Agenda 21. Hal-hal penting tersebut antara lain adalah : keterkaitan erat antara pembangunan dengan perlindungan lingkungan hidup, komitmen negara maju untuk meningkatkan kerjasama internasional melalui program peningkatan pembangunan negara-negara berkembang, penyaluran dana bantuan dan alih teknologi dari negara-negara maju termasuk peningkatan stabilitas harga komoditi, dan komitmen negara maju menyediakan bantuan luar negeri sebesar 0,7% dari PDB. Deklarasi Stockholm juga mengakui kedaulatan sepenuhnya setiap negara dalam pelaksanaan eksplorasi dan pengelolaan sumber daya alam sesuai kebijaksanaan lingkungan masing-masing negara.

Terlepas dari keberhasilan dalam bidang normatif dan institusional, kondisi lingkungan hidup global malahan cenderung merosot. Kondisi ekonomi dan sosial masyarakat bangsa-bangsa juga mengalami penurunan. Menipisnya lapisan ozon yang sangat berbahaya bagi kesehatan, peningkatan permukaan air laut akibat pemanasan bumi (global warming), punahnya sumber daya kelautan, penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi lahan, serta keterbatasan sumber air bersih merupakan indikasi semakin rusaknya kondisi lingkungan hidup global. Kemiskinan, penurunan kualitas kesehatan manusia, marginalisasi negara-negara berkembang, terjangkitnya epidemik seperti HIV-AIDS merupakan indikator kondisi sosial ekonomi yang semakin merosot. Faktor-faktor ini sangat tidak kondusif dalam mendukung upaya pelestarian lingkungan hidup yang sangat penting bagi generasi kini dan mendatang.

KTT Bumi 1992 telah menghasilkan Deklarasi Rio, Agenda 21, Forests Principles, Konvensi Perubahan Iklim (Climate Change) dan Keanekaragaman Hayati (Biodiver-sity). Untuk pertama kali, peran aktor non pemerintah yang tergabung dalam major group mendapat pengakuan dan sejak saat itu peran mereka dalam keberhasilan pemba-
ngunan berkelanjutan tidak dapat diabaikan. KTT Bumi juga menghasilkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan yang mengandung 3 pilar utama yang saling terkait dan menunjang yakni pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pelestarian ling-
kungan hidup . Pelaksanaan konferensi PBB tentang perubahan iklim atau UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) di Bali, pada tanggal 3 sampai dengan 14 Desember 2007, semakin meneguhkan peran penting Indonesia di dunia internasional dalam mendorong Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup dikaitkan dengan isu penanggulangan dampak pemanasan global (global warming). Pertemuan Bali semakin meneguhkan tekad negara-negara sedunia mengurangi emisi gas karbon untuk menanggulangi dampak negatif pemanasan global. Pada pertemuan tersebut Indonesia juga berhasil memperjuangkan insentif dari negara maju kepada negara sedang berkembang yang berhasil menjaga kelestarian hutannya.

2.2. Hukum di Masa Transisi dan Teori Hukum Progresif
Bidang hukum sangat berkaitan dengan perkembangan bangsa, bahkan menurut Prof. Satjipto Rahardjo SH, hukum harus difungsikan untuk menghadapi totalitas kehidupan bangsa. Tahun 2007, Indonesia sedikit banyak boleh disamakan dengan Amerika Serikat tahun 1960. Saat itu Amerika juga dihadapkan pada problem besar yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Sementara itu, praktek hukum konvensional ternyata gagal menyelesaikan problem itu sehingga orang lalu bertanya “apakah hukum sudah mati?”. Jika cara berhukum tidak difungsikan untuk menghadapi totalitas kehidupan, maka negara hukum hanya dapat membuat peraturan perundang-undangan saja. Dalam penegakan hukum, setiap kali orang hanya berpikir dan bertanya “undang-undang manakah yang dilanggar?” atau “pasal-pasal apakah yang diterapkan?”. Penegakan hukum hanya dipahami sebagai menjalankan perundang-undangan dan sistem hukum secara rasional, bukan dengan tujuan memecahkan problem sosial. Memfungsikan hukum sebagai institut yang harus berhadapan dengan totalitas kehidupan menjadikan hukum selalu waspada dan terlibat ke dalam penyelesaian problem bangsa. Pada saat korupsi menjadi problem besar bangsa ini, misalnya, hukum juga segera merasakannya sebagai problem hukum.

Amerika Serikat telah memberikan contoh yang bagus, yakni pada saat hukum dihadapkan kepada usaha membangun Amerika yang modern sekian ratus tahun lalu. Saat itu dengan berani Amerika membuat sendiri American Concept of Law, American Approach of Law, Distinctly American Development, dengan tidak memperdulikan pro-
tes dunia internasional terhadap cara Amerika Serikat menjalankan hukum yang keluar dari kebiasaan. Kita tidak dapat lagi menjalankan hukum sebagai business as usual teta-
pi harus progresif dan kreatif mencari avenues baru untuk mengatasi masalah bangsa.

Krisis masyarakat mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap hukum daripada aktivitas sosial lain. Perubahan dalam dasar-dasar masyarakat mengubah pula dasar-dasar nilai hukum. Dasar-dasar hukum dengan jelas dipengaruhi oleh dasar-dasar politik, ekonomi, kehidupan sosial, dan kesusilaan. Sebaliknya hukum mempunyai tugas memberi kepadanya bentuk dan ketertiban.

Meski setiap kali persoalan-persoalan hukum muncul dalam nuansa transisi (era Reformasi), namun penyelenggaraan hukum terus saja dijalankan layaknya kondisi normal. Hampir tidak ada terobosan hukum yang cerdas dalam menghadapi kemelut transisi pasca Orde Baru. Yang lebih memprihatinkan, hukum tidak saja dijalankan seperti rutinitas belaka (business as usual) tapi hukum juga dipermainkan seperti barang dagangan (business-like), akibatnya hukum terdorong ke jalur lambat dan mengalami kemacetan yang cukup serius. Dari sinilah kemudian Prof. Satjipto Rahardjo SH menyatakan perlunya Hukum Progresif.

Proses perubahan bagi Hukum Progresif tidak lagi berpusat pada peraturan semata tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis-formal. Keadilan justru diperoleh lewat intuisi, karenanya argumen logis-formal diperoleh sesudah Keadilan ditemukan, yaitu untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Hukum Progresif merangkul baik peraturan maupun kebutuhan sosial sebagai dua hal yang harus dipertimbangkan dalam tiap keputusan. Hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Hukum Progresif memiliki sifat responsif, dimana regulasi hukum selalu dikaitkan dengan tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan. Hukum Progresif melihat dan menilai hukum dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.

Menurut Prof. Satjipto Rahardjo SH, hukum tidak dapat berdiri sendiri dan selalu bergantung pada tuntutan lingkungannya (habitat sosialnya). Selain itu hukum juga harus memiliki kandungan kulturalnya sendiri. Dengan demikian, suatu masyarakat yang memilih hukum yang demokratis juga harus mengembangkan kultur yang demokratis pula. Kehidupan demokrasi selalu butuh dukungan Hukum Progresif







BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Fungsi Hukum Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan Berkelanjutan tidak dapat dilepaskan dari Pelestarian Lingkungan Hidup. Perwujudan kedua hal tersebut mensyaratkan adanya sistem hukum dan penegakan hukum yang efisien dan efektif. Fungsi Hukum Lingkungan dalam mendukung upaya Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup tidak dapat dilepaskan dari pendapat Gustaf Radbruch tentang adanya tiga asas hukum atau tiga tujuan hukum yaitu : Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian.

Aspek Keadilan menunjuk pada kesamaan hak setiap orang di depan hukum. Aspek Kemanfaatan menunjuk pada tujuan Keadilan yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia (masyarakat). Keadilan dan Kemanfaatan menentukan isi hukum, sedangkan aspek Kepastian menunjuk pada adanya jaminan bahwa hukum (yang berisi Keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan) benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Aspek Keadilan dan Kemanfaatan merupakan kerangka ideal hukum, sedangkan aspek Kepastian merupakan kerangka operasional hukum.

Pendapat Gustav Radbruch tentang tiga tujuan hukum (Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian) lahir sebagai koreksi atas teori hukum Hans Kelsen yang berpendapat “Hukum itu normatif karena adanya Norma Dasar (Grundnorm)”. Hans Kelsen lebih menekankan aspek Kepastian Hukum yaitu adanya keharusan dan kewajiban menaati hukum hanya karena telah ditentukan demikian secara yuridis-formal. Pendapat Hans Kelsen yang lebih mementingkan aspek yuridis-normatif sehingga mengabaikan aspek Keadilan dan Kemanfaatan, kemudian disalahgunakan Rezim NAZI (Adolf Hitler) untuk menjalankan pemerintahan Jerman yang otoriter dan sangat kejam.

Tanpa Kepastian Hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya sehingga akhirnya timbul keresahan. Tetapi apabila kita terlalu mengejar Kepastian Hukum, terlalu ketat dalam menaati peraturan hukum, akibatnya akan menjadi kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Undang-undang sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat: lex dura, sed tamen scripta (undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya). Menurut Mertokusumo, kalau dalam hukum yang diperhatikan hanyalah Kepastian Hukum, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah Kemanfaatan, maka Kepastian Hukum dan Keadilan dikorbankan, demikian seterusnya. Oleh karena itu dalam penegakan Hukum Ling-kungan ketiga unsur tersebut yaitu Kepastian, Kemanfaatan, dan Keadilan harus dikompromikan. Artinya ketiganya harus mendapat perhatian secara proporsional meskipun di dalam praktek tidak selalu mudah melakukannya.

Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia mempunyai asas, tujuan, dan sasaran tertentu. Pasal 3 menyatakan pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan dan asas manfaat, bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penjelasan Pasal 3 menyatakan berdasarkan asas tanggung jawab negara, di satu sisi, negara menjamin bahwa pemanfaatan sumberdaya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. Sementara di sisi lain, negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dalam wilayah yuridiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah yuridiksi negara lain, serta melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara. Asas keberlanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan.

Sasaran pengelolaan lingkungan hidup menurut Pasal 4 UU Nomor 23 Tahun 1997, adalah : (a) tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup, (b) terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup, (c) terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan, (d) tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup, (e) terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana, (f) terlindunginya NKRI terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Menurut Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, ada pendapat keliru yang mengatakan bahwa penegakan hukum hanyalah melalui proses di pengadilan. Ada pula pendapat keliru, seolah-olah penegakan hukum adalah semata-mata tanggung jawab aparat penegak hukum. Padahal, sesungguhnya, penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh anggota masyarakat sehingga untuk itu pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut, antara lain, dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, pelatihan singkat bagi aparat penegak hukum dan aparatur pemerintah yang akan melaksanakan undang-undang. Dalam hal penanganan kasus-kasus pencemaran lingkungan di lapangan, ditentukan pula kasus-kasus prioritas yang dapat diselesaikan secara hukum, dan pengembangan sistem penegakan hukumnya.

Dalam penegakan hukum, khususnya yang berhubungan dengan lingkungan hidup, diperlukan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner sehingga diperlukan pema-
haman berbagai disiplin ilmu lain yang terkait. Penegakan hukum dilaksanakan melalui berbagai jalur dengan berbagai sanksi, seperti sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana. Dalam kasus pencemaran lingkungan, jalur pertama penegakan hukum
seharusnya adalah jalur administratif dengan sanksi administratif : (1) pemberian teguran keras, (2) pembayaran uang paksa, (3) penangguhan ijin, (4) pencabutan ijin.

Faktor pengawasan dan penegakan hukum yang konsekuen sangat banyak artinya dalam usaha mempertahankan konservasi lingkungan. Benturan, dampak, dan interaksi yang berlebihan pada lingkungan dapat dicegah melalui sistem pengawasan dan penegakan hukum. Tetapi sebaliknya, faktor kontrol yang lemah dan sistem enforcement yang tidak tegas dapat menjadi peluang besar bagi masyarakat untuk menggunakan lingkungan sekehendaknya. Misalnya, intensitas keparahan ekosistem hutan yang kita rasakan saat ini banyak disumbang oleh kurangnya pengawasan aparat berwenang terhadap para pemegang HPH. Begitu pula terhadap cara-cara kerja para peladang berpindah yang masalahnya kian pelik ditanggulangi karena kurangnya kontrol dari Departemen Pertanian atau Departemen Kehutanan.

3.2. Pemanfaatan Hukum Lingkungan Sebagai Alat Rekayasa Sosial

Perubahan masyarakat dapat terjadi secara bertahap (evolusi) maupun secara mendadak (revolusi). Sepanjang sejarah, perubahan sosial secara revolusioner umumnya dilakukan melalui politik kekerasan yang penuh dengan tetesan darah dan air mata sehingga berpotensi menimbulkan balas dendam. Pada masa kini perubahan sosial dengan cara kekerasan mulai banyak ditinggalkan dan diganti dengan perubahan sosial secara damai yang dipandu oleh Hukum dan Kebijaksanaan. UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3) jelas-jelas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali dalam waktu sangat singkat (1999-2002) adalah satu contoh keberhasilan penggunaan Hukum dan Kebijaksanaan sebagai alat rekayasa sosial atau sebagai alat pemandu perubahan sosial di Indonesia.

Keberanian MPR era Reformasi mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali dapat digolongkan sebagai “Revolusi Konstitusional”. Sejak saat itu kehidupan bangsa kita mengalami revolusi dalam berbagai bidang, akibat adanya : (a) pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal dua periode, (b) pemilihan langsung Presiden, Wakil Presiden, DPD, DPR, DPRD, dan Kepala Daerah (c) pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia, (e) lembaga baru Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Pemilihan Umum, (f) pemisahan TNI dengan Polri, dan lain-lain.

Amandemen UUD 1945 di era Reformasi juga memicu munculnya banyak aturan hukum baru yang mencoba mengisi kekosongan hukum serta menjawab segala permasalahan yang banyak muncul selama masa Reformasi. Peraturan baru tersebut dalam prakteknya kurang diimbangi faktor penegakan hukum. Penegakan hukum di Indonesia sangat lemah akibat masih kuatnya budaya hukum Orde Baru yang bernuansa KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Lembaga penegak hukum yang lama (Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman) masih banyak yang tercemar KKN, sehingga hukum hanya dijadikan sebagai alat mencari keuntungan pribadi semata.

Berdasarkan contoh keberhasilan Amandemen UUD 1945, maka pemanfaatan Hukum Lingkungan sebagai alat rekayasa sosial untuk mendukung upaya Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup menjadi sangat mungkin untuk diterapkan, asalkan ada komitmen kuat dari elit kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan aparat penegak hukum untuk selalu bertindak sesuai koridor hukum dan selalu berupaya untuk memperbaharui dan menyempurnakan hukum mengikuti perkembangan masyarakat. Pemanfaatan Hukum Lingkungan sebagai alat rekayasa sosial juga bertujuan untuk mewujudkan Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum.

Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu “Hukum untuk Manusia”. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum bukan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan Hukum Progresif menganut ideologi : “Hukum yang Pro-Keadilan dan Hukum yang Pro-Rakyat”. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaannya) harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum. Pendapat ini semakin mempertegas kaitan antara Hukum Progresif dan pemanfatan Hukum sebagai alat rekayasa sosial dengan bidang studi tentang manusia, masyarakat dan budayanya.

Hukum Progresif bersifat emansipatoris (membebaskan). Hukum Progresif juga dekat dengan paham social engineering (rekayasa sosial) dari Roscoe Pound (ahli hukum Amerika Serikat, pelopor Pragmatisme Hukum). Paham ini menggunakan “Hukum sebagai Alat Rekayasa Sosial” dengan mewajibkan semua pelaku hukum menemukan cara-cara yang dinilai paling baik untuk memajukan dan mengarahkan masyarakat. Hukum dianggap memiliki potensi besar untuk melakukan perubahan sosial secara terencana, sebab selain memiliki legalitas formal, hukum juga mempunyai kewenangan pemaksa yang dalam bekerjanya didukung aktivitas birokrasi. Pendapat Prof. Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif yang bersifat emansipatoris atau membebaskan dapat diartikan bahwa pemanfaatan Hukum harus selalu diarahkan untuk memerdekakan manusia dari belenggu penjajahan dan ketidakadilan di segala bidang kehidupan. Hukum tidak boleh digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menghalangi kemajuan individu dan masyarakat sebagaimana dipraktekkan di negara otoriter. Di samping itu, Hukum juga tidak boleh digunakan untuk mendukung kepentingan individu secara berlebihan sehingga merugikan kepentingan masyarakat.

Pemanfaatan Hukum (termasuk Hukum Lingkungan) sebagai alat rekayasa sosial selalu membutuhkan pembaharuan dan penyempurnaan hukum secara berkesinambungan, agar aturan hukum yang ada dapat selalu menjawab setiap permasalahan yang muncul di masyarakat. Proses pembaharuan hukum itu dalam prakteknya memang tidak mudah dilakukan karena harus melibatkan lembaga politik (Parlemen) yang anggotanya berasal dari partai-partai politik yang memiliki berbagai macam kepentingan. Pada masa Reformasi saat ini, lembaga eksekutif (Pemerintah) tidak lagi dapat seenaknya sendiri membuat peraturan tanpa melibatkan wakil rakyat di Parlemen. Dalam mengatasi kelambanan ini, maka Teori Hukum Progresif memberi jalan keluar melalui pemanfaatan Diskresi yang bertanggung jawab dalam upaya penegakan hukum. Dengan kata lain, pemanfaatan Hukum sebagai alat rekayasa sosial senantiasa beriringan dengan pemanfaatan Diskresi sebagai alat penegakan hukum.

3.3. Pemanfaatan Diskresi dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Diskresi (discretion) dapat diartikan sebagai pertimbangan, kemerdekaan bertindak, atau kebijaksanaan. Jika dikaitkan dengan penegakan hukum, maka Diskresi dapat diartikan sebagai pemberian “kebebasan yang bertanggung jawab” kepada setiap aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) untuk menafsirkan hukum dan melaksanakan hukum secara tepat sesuai dengan konteks peristiwa dan konteks sosial-budaya masyarakat. Tanpa Diskresi atau tanpa kebebasan yang bertanggung jawab, maka aparat penegak hukum tidak akan mampu mewujudkan asas-asas hukum yaitu Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum. Selama ini, aturan Diskresi dalam penegakan hukum hanya ditujukan kepada aparat Kehakiman, yaitu berdasarkan UUD 1945 (Hasil Amandemen) Pasal 24 Ayat (1) yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Berdasarkan Pasal tersebut, para hakim diberikan kebebasan sepenuhnya dalam membuat keputusan hukum tanpa dapat diintervensi pihak lain bahkan atasannya sendiri. Mahkamah Agung (MA) juga tidak boleh mencampuri proses keputusan hakim, walaupun MA tetap diberi hak untuk mengoreksi hasil putusan hakim di bawahnya melalui mekanisme Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Aturan Diskresi bagi aparat Kepolisian dan Kejaksaan belum diatur secara tegas oleh Konstitusi dan Undang-Undang sehingga lebih banyak berbentuk konvensi (kebiasaan/ aturan tidak tertulis).

Hukum Progresif juga sangat mementingkan peran Diskresi. Karena Hukum Progresif lebih mengutamakan tujuan dan konteks daripada teks-teks aturan semata, maka soal Diskresi menjadi sangat urgen dalam penyelenggaraan hukum. Dalam Diskresi, para penyelenggara hukum dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus bertindak. Diskresi yang dilakukan seorang penyelenggara hukum semata-mata atas dasar pertimbangan kegunaan dan kefungsian tindakan itu dalam mencapai tujuan yang lebih besar demi menjaga kewibawaan hukum itu sendiri. Pada dasarnya Diskresi ditempuh karena sarana hukum yang ada dirasakan kurang efektif dan terbatas.

Penggunaan Diskresi dalam penegakan hukum membutuhkan sosok penegak hukum berkesadaran tinggi yang selalu mampu bersikap positif dalam kondisi sesulit apapun. Menurut Darmadi Darmawangsa, salah satu ciri orang sukses adalah adanya attitude atau sikap yang positif dalam menghadapi kehidupan. Orang optimis selalu mengambil tindakan, sementara orang pesimis lebih senang diam dan menunggu. Orang optimis selalu memberikan kontribusi bagi orang lain dan lingkungannya, sementara orang pesimis selalu mengambil kesempatan atau manfaat dari orang lain dan lingkungan sekitarnya. Orang optimis selalu melihat kesempatan, sementara orang pesimis selalu melihat hambatan-hambatan. Orang optimis selalu bersikap responsif dalam menghadapi setiap masalah, sedangkan orang pesimis selalu bersikap reaktif.

Kualitas penegakan hukum berbeda-beda, mulai dari yang sangat lembek, lembek, keras, sampai luar biasa keras. Konon seorang pemimpin China (PM Zhu Rong Ji) berjanji akan memesan 100 peti mati untuk para koruptor dan salah satunya untuk dirinya manakala dia melakukan korupsi. Di masa kini penegakan hukum oleh polisi, jaksa, pengacara, dan hakim, memerlukan kualitas progresif. Kita membutuhkan penegakan hukum dan penegak hukum yang berkualitas beyond the call of duty yaitu yang bekerja di atas standar biasa atau di atas rata-rata. Undang-undang hanya bicara secara abstrak dan datar, baru di tangan penegak hukum itulah kekuatan hukum bisa diuji kemampuannya. Maka, sikap progresif sangat diperlukan.

Kualitas negara hukum tidak menjadi lebih baik dengan hanya mengutamakan unsur perundang-undangan, tetapi harus dengan meningkatkan kualitas manusia, baik itu hakim, jaksa, advokat, polisi, birokrat, legislator, atau rakyat biasa. Oleh karena itu, menurut Prof. Satjipto Rahardjo kita harus lebih berkonsentrasi pada pembangunan budi pekerti manusia Indonesia dalam rangka membangun negara hukum, atau dalam istilah beliau “santun dulu baru bernegara hukum”. Hukum formal, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, adalah hukumnya para profesional hukum. Di tangan mereka hukum bisa ditekuk-tekuk untuk keperluan profesi. Itulah barangkali yang membuat William Shakespeare begitu berang terhadap para yuris sehingga ingin menghabisi mereka semua. Hukum hanyalah alat yang dapat digunakan untuk tujuan positif atau negatif tergantung pada kesadaran manusia atau pelaku hukumnya, sehingga pendidikan budi pekerti sejak usia dini harus didahulukan sebelum menempuh pendidikan hukum.

Negara-negara lain, termasuk negara-negara sedang berkembang, telah mendorong para hakim untuk giat menyumbang Hukum Lingkungan melalui putusannya. Putusan hakim tersebut akan menjadi yurisprudensi yang baik bagi dasar Hukum Lingkungan. Para hakim di Filipina, misalnya, dalam kasus Minor Opposa (1993), memutuskan hak penegakan ekologi yang seimbang dan sehat serta mengenai ekosistem hutan yang makin rusak akibat dibabat para pemegang HPH, sehingga dikhawatirkan bukan hanya menghabiskan cadangan untuk kepentingan generasi sekarang, tetapi juga bagi generasi yang akan datang. Kasus ini berhubungan atau merujuk pada Deklarasi Rio 1992 : The Principle of Intergenerational Equity. Contoh lain adalah kasus Shela Zia vs Wapda, yang diputuskan Mahkamah Agung Pakistan (1994) dengan menggugat rencana pembangunan stasiun pembangkit listrik di dekat pemukiman yang dikhawatirkan menimbulkan radiasi elektro magnetik (EMR). Bukti-bukti tentang EMR masih diperdebatkan, tetapi hakim mengeyampingkan masalah itu dan mengatakan bahwa tiadanya bukti ilmiah yang pasti bukan alasan untuk mencegah efek radiasi. Putusan ini begitu penting karena bisa meneguhkan prinsip pencegahan dini (Precautionary Principle) sebagaimana ditetapkan dalam Deklarasi Rio. Pelaksanaan perundang-undangan di Indonesia, juga tampak lemah dan tidak konsekuen. Sebagai contoh, UU Kehutanan (UU Nomor 41/ 1999) jelas-jelas melarang kegiatan tambang di kawasan hutan, khususnya penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Namun nyatanya pemerintah tetap memberikan izin penambangan di kawasan hutan lindung.

Penggunaan Diskresi yang bertanggung jawab oleh penegak hukum harus terus didorong agar mereka dapat mengatasi segala macam permasalahan yang banyak muncul di masa transisi saat ini. Penggunaan Diskresi tersebut harus diarahkan untuk mewujudkan tiga asas hukum yaitu : Keadilan, Kemanfaatan, Kepastian. Penggunaan Diskresi tidak dapat dilepaskan dari kemampuan aparat penegak hukum dalam melakukan penafsiran hukum secara tepat. Setiap aparat penegak hukum harus memiliki pemahaman yang baik terhadap aturan hukum, konteks peristiwa, dan konteks sosial-budaya yang melatarbelakangi setiap kasus, agar keputusannya tidak bias dan benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum.

Kemampuan penafsiran hukum tidak dapat diperoleh dalam waktu singkat, bahkan harus melalui proses pendidikan panjang sejak usia dini. Kurikulum sekolah saat ini yang hanya mengutamakan Intellegence Quotient (IQ) atau Kecerdasan Pikiran harus disempurnakan dengan menambahkan kurikulum yang dapat merangsang Emotional Quotient (EQ) atau Kecerdasan Emosional, dan Spiritual Quotient (SQ) atau Kecerdasan Spiritual. Nilai-nilai Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum tidak akan dapat diwujudkan oleh penegak hukum yang hanya ber-IQ tinggi, tetapi ber-EQ rendah dan ber-SQ rendah, sebab orang semacam ini cenderung egois, korup, tidak berperasaan, dan hanya pandai memutarbalikkan hukum untuk kepentingan pribadi.

EQ memberi kita kesadaran mengenai perasaan diri sendiri dan orang lain. EQ memberi rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat. EQ digunakan sebagai persyaratan dasar untuk menggunakan IQ secara efektif. Jika bagian otak yang dipakai untuk “merasa” telah rusak, maka kita tidak dapat berpikir efektif. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan SQ merupakan kesadaran tertinggi kita.

IQ dan EQ secara terpisah atau bersama-sama, tidak cukup menjelaskan keseluruhan kompleksitas kecerdasan manusia, kekayaan jiwa serta imajinasinya. Komputer memiliki IQ tinggi sebab mereka mengetahui aturan dan mengikutinya tanpa salah. Banyak hewan mempunyai EQ tinggi sebab mereka mengenali situasi yang ditempatinya dan mengetahui cara menanggapi situasi dengan tepat. Tetapi, komputer dan hewan tidak pernah bertanya mengapa kita memiliki aturan dan situasi, atau apakah aturan dan situasi itu bisa diubah atau diperbaiki. Mereka hanya bisa bekerja di dalam batasan atau memainkan “permainan terbatas”. Sebaliknya, SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, mampu mengubah aturan dan situasi, dan memungkinkan kita memainkan “permainan yang tak terbatas”.

Pendidikan Berimbang, yang mengajarkan ketiga jenis kecerdasan manusia (IQ, EQ, SQ), harus sudah dimulai sejak usia dini. Kecerdasan Pikiran (IQ) dapat dikembangkan antara lain dengan melatih berpikir rasional-logis lewat Matematika. Pelajaran yang hanya menekankan aspek hafalan harus dikurangi seminimal mungkin, agar otak siswa dapat mengembangkan daya nalar yang sehat dan kreatif. Kecerdasan Emosional (EQ) dapat dikembangkan melalui praktek nyata di lapangan, kegiatan seni budaya, dan kegiatan olahraga yang menjunjung tinggi sportifitas. Semua pelajaran di sekolah harus dapat “dipraktekkan” secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, agar pelajaran tersebut tidak mudah dilupakan. EQ akan tumbuh otomatis bersamaan dengan tumbuhnya rasa cinta siswa terhadap ilmu dan kegiatan yang ditekuninya. Kecerdasan Spiritual atau kepekaan Hati Nurani (SQ) dapat tumbuh manakala nilai-nilai Ketuhanan (misalnya Kasih Sayang, Kejujuran, Keadilan) benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, di masyarakat, dan di keluarga. SQ dapat ditumbuhkan lewat kegiatan yang mendorong kecintaan siswa kepada alam sekitarnya, sehingga mereka dapat merasakan kesatuan dengan alam semesta. Pelatihan introspeksi diri, kemandirian, dan meditasi juga dapat menumbuhkan SQ. SQ tidak selalu identik dengan kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan yang hanya mementingkan ritual tanpa menghayati kehidupan hanya akan melahirkan manusia fanatik yang tidak punya kepekaan sosial.

Praktek Pendidikan Berimbang belum banyak dilakukan di Indonesia, bahkan di tingkat pendidikan tinggi. Di Fakultas Hukum yang kelak menghasilkan para penegak hukum, sebagai contoh, mata kuliah hukum kebanyakan hanya menekankan aspek hafalan. Sangat jarang dosen mengaitkan mata kuliahnya dengan kejadian aktual di masyarakat. Kegiatan praktek lapangan di lembaga-lembaga hukum (Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Penjara, LBH, dan lain-lain) mulai banyak yang ditiadakan. Mahasiswa hanya dipacu untuk segera lulus dengan IPK tinggi, tanpa diberi kesempatan merasakan ilmu yang dipelajarinya. Dengan model pendidikan semacam ini, maka wajar jika kelak para sarjana hukum hanya berpikiran egois, materialistik, manja, senang jalan pintas, dan tidak tahan menderita. Di sisi lain, pendidikan hukum yang hanya mengandalkan IQ juga dapat menghasilkan sarjana hukum yang kaku, tidak peka dengan penderitaan rakyat, dan hanya pandai berpikir secara yuridis-normatif.

Niat awal mahasiswa untuk menjadi sarjana hukum, kebanyakan bukan lagi untuk menjadi aparat hukum yang mengabdi kepada Tuhan dan Masyarakat. Mereka sudah tercemar penyakit sosial bangsa kita yang hanya menjadikan uang dan jabatan sebagai tujuan hidup. Gejala sikap mental materialistik ini juga melanda mahasiswa jurusan lainnya. Mereka sudah lupa ajaran Agama dan leluhur yang menjadikan pekerjaan sebagai alat beribadah atau alat persembahan kepada Tuhan, Masyarakat, dan Alam Semesta. Niat untuk mengejar uang dan kedudukan itulah yang kelak membuat mereka menjadi aparat penegak hukum yang korup dan zalim. Kita sering meremehkan niat awal, padahal niat awal itulah yang akan menentukan masa depan kita, sebagaimana sabda Nabi Muhammad : “segala amal perbuatan tergantung dari niat-nya”.

Mahasiswa hukum di Indonesia jarang membaca karya sastra (novel atau film) bertema hukum. Padahal, mahasiswa hukum di Amerika Serikat diharuskan membaca karya sastra bertema hukum atau yang lazim disebut Law through Literature. Mahasiswa diajak membaca, memahami, dan berdiskusi tentang novel bertema hukum misalnya The Firm atau Pelican Brief. Mahasiswa juga diajak mengikuti kasus khusus yang sedang aktual di masyarakat. Mereka kemudian diminta membuat opini hukum yang terkait dengan kasus tersebut. Lewat pelatihan yang terus menerus semacam itulah, kelak akan lahir penegak hukum yang benar-benar mampu menafsirkan hukum secara tepat sesuai konteks peristiwa dan konteks sosial-budaya masyarakatnya.

Pentingnya pendidikan budi pekerti sejak usia dini sebagai dasar pendidikan hukum, juga disinggung oleh Prof. Satjipto Rahardjo. Perilaku disiplin, budaya antre, jujur, menghormati teman, kesantunan, adalah pendidikan hukum par excellence. Manusia Indonesia perlu diobati dulu dari aneka penyakit mentalitas menerabas, tidak menghargai mutu, ingin cepat berhasil tanpa usaha, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, dan lain-lain. Langkah teraputik inilah yang ditransformasikan menjadi pendidikan hukum substansial, sebelum masuk ke pernak-pernik perundang-undangan, prosedur, sistem, dan sebagainya. Pendidikan budi pekerti sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, pada hakikatnya sama dengan Pendidikan Berimbang. Pendidikan budi pekerti bukan sekedar pelajaran yang bersifat teoritis dan hafalan, tetapi harus benar-benar dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari para siswa pada saat di sekolah, di rumah, dan di masyarakat. Pendidikan budi pekerti tersebut akan lebih mudah dipraktekkan oleh para siswa jika ada teladan yang baik dari para guru, para orang tua, dan para pemimpin di masyarakat. Faktor keteladanan inilah yang saat ini justru mulai langka dijumpai di Indonesia. Para siswa, melalui pemberitaan di media massa, justru banyak disuguhi contoh buruk perilaku orang tua khususnya para pejabat negara, politisi dan aparat hukum yang bermental korup dan suka menipu rakyat.

Penggunaan Diskresi oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) memerlukan hadirnya lembaga pengawas internal maupun eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh atasan langsung dan atau lembaga inspektorat. Pengawasan eksternal dilakukan oleh lembaga negara yaitu : KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaaan, Komisi Kepolisian, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan), PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), serta lembaga legislatif (DPR, DPD, DPRD). Pengawasan eksternal oleh masyarakat dilakukan lewat lembaga swadaya masyarakat seperti ICW (Indonesian Corruptions Watch), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Greenpeace, MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia), YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), dan lain-lain. Pengawasan eksternal juga dapat dilakukan melalui pemberitaan media massa yang bersifat kritis, investigatif, obyektif dan berimbang. Pengawasan terhadap penggunaan Diskresi bukanlah dimaksudkan untuk menghilangkan “kebebasan” aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Pengawasan tersebut dilakukan justru agar supaya aparat penegak hukum dapat menggunakan Diskresi secara bebas tetapi bertanggung jawab, serta untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan Diskresi.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1). Hukum Lingkungan berfungsi sebagai pemandu aturan dalam upaya Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Penegakan Hukum Lingkunganyang tepat diharapkan dapat mewujudkan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian.

2). Hukum Lingkungan dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial untuk mensukseskan Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, asalkan diikuti komitmen kuat elit penguasa dan penegak hukum untuk senantiasa bertindak sesuai hukum dan terus berupaya melakukan pembaharuan dan penyempurnaan hukum.

3). Pemanfaatan Diskresi dalam penegakan Hukum Lingkungan, diperlukan untuk mengatasi kelemahan aturan hukum. Penggunaan Diskresi oleh aparat penegak hukum harus diawasi agar tidak diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Pengawasan dapat dilakukan dari dalam (internal) dan dari luar (eksternal). Penggunaan Diskresi harus diarahkan untuk mewujudkan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum.

4.2. Saran

1). Pemerintah dan DPR, dalam melakukan pembaharuan dan penyempurnaan hukum, harus selalu melibatkan unsur masyarakat agar hukum yang dihasilkan benar-benar dapat menjunjung tinggi keadilan dan berpihak kepada kepentingan rakyat banyak.

2) Penggunaan Diskresi bagi aparat Kepolisian dan Kejaksaan harus diatur oleh UU sebagaimana aturan diskresi bagi Hakim yang telah diatur UUD 1945 Pasal 24 (1). Pengaturan yang jelas lewat UU akan dapat mencegah penyelewengan Diskresi.


3) Pendidikan Berimbang dan pendidikan budi pekerti sejak usia dini diperlukan untuk menghasilkan aparat penegak hukum yang berkesadaran tinggi dan mampu menafsirkan hukum sesuai konteks peristiwa dan kondisi sosial-budaya masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, 2006, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Penerbit : CV. Kita, Surabaya.

Danah Zohar, dan Ian Marshall, 2001, SQ : Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dan

Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Mizan, Bandung.

Darmadi Darmawangsa, dan Imam Munadhi, 2008, Fight Like A Tiger, Win Like A Champion, Cetakan ke-10, Penerbit PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Koesnadi Hardjasoemantri, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh, Cetakan ke-17, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Mr. Soetiksno, 2004, Filsafat Hukum, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.

N. H. T. Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, Penerbit : Erlangga, Jakarta.

RM. Gatot P. Soemartono, 1996, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amandemen).

Undang Undang RI Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang Undang RI Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2007, Santun Dulu, Baru Bernegara Hukum, Artikel di Koran Kompas, 17-4-2007.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2007, Hukum dan Totalitas Kehidupan, Artikel di Koran Kompas, Jumat, 11-5-2007.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2007, Hukum Progresif di Jaman Edan, Artikel di Koran Kompas, Rabu, 27-6-2007.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2008, Wajah Hukum Indonesia, Artikel di Koran Kompas, Senin, 28-7-2008.

Makmur Widodo (Dubes RI di PBB), 2001, KTT Dunia Pembangunan Berkelanjutan 2002 Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia Baru, makalah dalam rangka sosialisasi persiapan World Summit on Sustainable Development, 8 September 2001, diakses dari www.indonesiamission-ny.org, tanggal 11-07-2008.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2004, Demokrasi Butuh Dukungan Hukum Progresif, Artikel di Koran Kompas, Selasa, 22-6-2004; diakses dari www.kompas.com tgl 25-7-2008.