BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Negara
Sistem perekonomian di
Pembangunan sektor pertanian harus tetap menjadi prioritas utama karena bidang tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak dan berperan besar dalam menunjang keberhasilan sektor pembangunan lainnya. Pembangunan pertanian membutuhkan perlindungan hukum sebab kebanyakan pelaku usahanya adalah petani kecil yang lemah dan kurang berpendidikan. Peraturan perundang-undangan di bidang pertanian seharusnya diarahkan untuk menumbuhkan kemandirian dan kreatifitas petani, sehingga kelak mereka dapat menyejahterakan diri sendiri tanpa tergantung siapapun.
Pembangunan pertanian Orde Baru yang cenderung otoriter dan sentralistik membuat petani tidak mandiri, tidak kreatif, serta selalu bergantung kepada Pemerintah dan produsen saprotan. Ketergantungan tersebut membuat kesejahteraan petani belum juga membaik hingga saat ini, sebab nilai tambah usahanya lebih banyak dinikmati pihak lain terutama produsen saprotan, tengkulak, pedagang besar, dan rentenir.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT) dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT), semestinya dapat menumbuhkan kemandirian, kreatifitas, dan harkat hidup petani kecil. Tujuan mulia UU tersebut dalam prakteknya masih terkendala adanya fakta pemasungan kreatifitas dan kemandirian petani kecil seperti pada kasus benih jagung hibrida di Jawa Timur. Petani jagung di
UU PVT bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan yakni : petani, produsen, konsumen, dan pemulia. Pengembangan varietas baru senantiasa berkaitan dengan kegiatan pemuliaan, sertifikasi dan produksi benih komersial. Pemulia bertugas mengembangkan varietas baru dan menyediakan benih penjenis dalam jumlah terbatas. BPSB (Badan Pengawas Sertifikasi Benih) bertugas melakukan sertifikasi benih untuk menjamin agar kemurnian varietas yang akan dipasarkan memiliki standar mutu benih yang sesuai dengan kelasnya. Sedangkan perusahaan benih dan petani penangkar benih bertugas memproduksi benih sesuai standar mutu.
Pemuliaan atau pelepasan varietas unggul baru selama ini lebih banyak dilakukan oleh para pemulia yang bekerja di lembaga pemerintah, baik di balai penelitian maupun di perguruan tinggi. Industri benih swasta masih sedikit kontribusinya dalam pembuatan varietas baru, dan kalaupun ada (misalnya pada jagung) hanya menghasilkan benih hibrida. Padahal varietas hibrida masih menghadapi resiko pencurian hibrida induk, karena perlindungan hukum pada varietas baru tersebut boleh dikatakan belum ada.
Dalam komersialisasi benih, benih dari varietas unggul yang telah dilepas oleh Pemerintah disebut Benih Bina (Pasal 13 ayat 1 UU SBT). Benih Bina yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan Pemerintah (Pasal 13 ayat 2). Benih Bina berasal dari hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri dikatagorikan Benih Bermutu (Pasal 8). Sertifikasi merupakan kegiatan untuk mempertahankan mutu benih dan kemurnian varietas (Pasal 13 ayat 2).
Pembangunan pertanian memiliki nilai keunggulan komparatif yang tinggi karena : adanya lahan yang luas dan subur, sinar matahari yang berlimpah sepanjang tahun, banyaknya tenaga kerja, banyaknya keanekaragaman hayati, banyaknya plasma nutfah yang berguna untuk pemuliaan, banyaknya lembaga pendidikan dan penelitian pertanian, dan sebagainya. Keunggulan komparatif tersebut tidak akan ada gunanya jika
Permasalahan hukum di bidang pertanian pada masa transisi (era Reformasi) saat ini tidak cukup hanya ditangani lewat peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Menghadapi kondisi transisional dimana persoalan saling berhimpitan, serba darurat dan penuh komplikasi, aparat penegak hukum dituntut mampu melakukan langkah-langkah terobosan dalam menjalankan hukum dan tidak sekedar menerapkan aturan hukum secara hitam-putih. Hal ini penting karena banyak peraturan sudah ketinggalan zaman, peraturan yang ada tidak mampu menjawab permasalahan yang muncul, atau peraturan yang ada saling kontradiktif dan tumpang tindih. Oleh karena itu kehadiran pelaku hukum yang arif, visioner, dan kreatif, mutlak perlu untuk memandu pemaknaan kreatif terhadap aturan yang demikian. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dituntut mencari dan menemukan Keadilan dan Kebenaran dalam batas dan di tengah keterbatasan kaidah hukum yang ada. Inilah inti terobosan Hukum Progresif.
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan karya tulis ini terdiri dari :
1. Apakah UU SBT dan UU PVT dapat mendorong kemandirian dan kreatifitas
petani kecil dalam permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur ?
2. Apakah praktek penegakan hukum dapat mendorong kemandirian dan kreatifitas
petani kecil dalam permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur ?
3. Apakah Hukum Progresif dapat memberikan solusi atas permasalahan tersebut ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dan manfaat penulisan karya tulis ini adalah :
1. Melakukan kajian hukum permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur
dikaitkan dengan upaya mendorong kemandirian dan kreatifitas petani kecil.
2. Memberikan solusi hukum atas permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur
guna mendorong kemitraan usaha antara perusahaan benih dengan petani kecil .
3. Mendorong peran petani kecil dalam kegiatan sertifikasi dan pemuliaan tanaman,
untuk meningkatkan kemandirian, kreatifitas, dan kesejahteraan petani kecil.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peranan Hukum dalam Pembangunan Pertanian
Hukum merupakan bagian integral kehidupan manusia, hukum mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan bersama. Sebagai konsekuensinya, maka tata hukum bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan hukum bagi manusia yang berujung pada kepastian hukum. Penghormatan dan perlindungan hukum untuk manusia ini merupakan pencerminan dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Kaitan perlindungan hukum dengan hak asasi manusia juga tersirat dalam UUD 1945 (Hasil Amandemen) Pasal 28 D Ayat (1) yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Sedangkan Pasal 28 I Ayat (2) menyatakan : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Pada dasarnya ketentuan berupa undang-undang merupakan tonggak arahan yang diperlukan untuk mendorong dan melindungi kegiatan dalam menghasilkan varietas tanaman yang memiliki sifat unggul. Para pihak yang bergerak dalam kegiatan pemuliaan membutuhkan satu pengaturan khusus yang dapat memberikan jaminan dan perlindungan hukum secara jelas dan tegas. Perlindungan dimaksud berupa pengakuan hak atas kekayaan intelektual bagi hasil invensi berupa varietas baru tanaman.
Ketentuan internasional yang melindungi varietas baru tanaman adalah International Convention for The Protection of New Varieties of Plants (UPOV Convention) yang dibentuk untuk melindungi hak pemulia (breeder’s rights). Pembentukan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT) banyak mengadopsi UPOV Convention.
2.2. Pentingnya Kemandirian dan Kreatifitas Petani
Pembangunan pertanian selama ini lebih didominasi Pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Petani lebih diperankan sebagai pelaksana kebijakan Pemerintah dan obyek pembangunan, bukan subyek pembangunan. Pembangunan pertanian yang didominasi Pemerintah tidak sesuai prinsip pertanian kerakyatan yang bertumpu pada kemampuan dan kemandirian petani. Kemandirian petani diperlukan agar visi dan misi pertanian berkelanjutan dapat tercapai demi menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi kini dan mendatang. Kemandirian mendo-rong kreativitas petani hingga terwujud pertanian yang maju, efisien dan tangguh.
Menurut F. Rahardi, petani di negara tetangga yakni Malaysia, Thailand, Filipina, lebih mandiri karena mampu membentuk kelompok, koperasi dan asosiasi yang terorganisir sesuai jenis komoditasnya. Kurangnya kemandirian petani Indonesia disebabkan faktor kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah. Menurut James C. Scott petani miskin sering tidak berani mengambil resiko karena jika salah akan berakibat fatal bagi keluarganya. Pendapat ini dibantah Prof. Dr. Kabul Santoso yang mengatakan bahwa petani tembakau di Jember terbukti berani menghadapi resiko, dan bahkan sudah terbiasa menjalin kemitraan usaha dengan perusahaan besar.
Ketegaran sektor agribisnis terlihat dari kemampuannya tetap tumbuh sebesar 0,22 persen saat krisis ekonomi 1998, sementara perekonomian nasional secara agregat mengalami kontraksi hebat hingga minus 13,7 persen. Kejadian ini menurunkan penyerapan tenaga kerja nasional 2,13 persen (6.429.500 orang), di lain pihak sektor agribisnis justru mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja 432.350 orang.
Bung Karno menyatakan, kemiskinan bukan hanya disebabkan kekurangan sandang pangan tapi juga karena miskin pengetahuan dan kesadaran. Kesejahteraan utuh hanya dapat dicapai bila manusia Indonesia sehat mental-emosional, dan sejahtera jiwanya. Sambil mengutip Swami Vivekananda, Bung Karno berkata : “Kita sudah menangis cukup lama, jangan menangis lagi, belajar hidup mandiri, dan jadilah satria sejati !”.
2.3. Teori Hukum Progresif dalam Pembangunan Pertanian
Teori Hukum Progresif juga berlaku dalam pembangunan pertanian di masa transisi (era Reformasi) saat ini. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu “Hukum untuk Manusia”. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum bukan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan Hukum Progresif menganut ideologi : “Hukum yang Pro-Keadilan dan Hukum yang Pro-Rakyat”.
Hukum Progresif bersifat emansipatoris (membebaskan). Hukum Progresif dekat dengan paham social engineering (rekayasa sosial) dari Roscoe Pound (ahli hukum AS, pelopor Pragmatisme Hukum). Paham ini menggunakan “Hukum sebagai Alat Rekayasa Sosial” dengan mewajibkan pelaku hukum menemukan cara-cara paling baik untuk memajukan dan mengarahkan masyarakat. Hukum berpotensi besar melakukan perubahan sosial secara terencana sebab selain memiliki legalitas formal, hukum memiliki kewenangan pemaksa yang dalam bekerjanya didukung aktivitas birokrasi.
Hukum Progresif sangat mementingkan peran Diskresi karena Hukum Progresif lebih mengutamakan tujuan dan konteks daripada teks aturan semata, maka soal Diskresi menjadi sangat urgen dalam penyelenggaraan hukum. Dalam Diskresi, penyelenggara hukum dituntut memilih dengan bijaksana bagaimana harus bertindak. Diskresi yang dilakukan penyelenggara hukum semata-mata atas dasar pertimbangan kegunaan dan kefungsian tindakan dalam mencapai tujuan yang lebih besar demi menjaga kewibawaan hukum itu sendiri. Diskresi ditempuh karena sarana hukum yang ada dirasa kurang efektif dan terbatas. Menurut Apeldoorn, tujuan yang dirumuskan dalam ketentuan hukum sering kabur sehingga memberi kesempatan pelaksananya untuk menambahkan atau menafsirkan sendiri sesuai konteks situasi yang ia hadapi. Diskresi atau discretion secara harfiah dapat diartikan sebagai : pertimbangan, kemerdekaan bertindak, atau kebijaksanaan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Kajian Hukum Permasalahan Benih Jagung Hibrida di Jawa Timur
Permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur diawali tahun 1997 ketika seorang petani di Kediri bernama Suwoto dituduh oleh PT BISI melakukan sertifikasi ilegal. Ia sudah sampai tahap penyidikan namun dilepas karena saat itu PT BISI hendak dibakar oleh
Kasus yang dialami Suwoto ternyata juga menimpa belasan petani lain di Jawa Timur. Petani-petani jagung tersebut dituduh melakukan pemuliaan dan penangkaran benih jagung hibrida secara ilegal. Tindakan tersebut dilakukan petani karena mahalnya harga benih jagung hibrida, serta adanya keharusan petani untuk selalu membeli benih jagung hibrida, sebab benih tersebut sengaja dirancang perusahaan besar hanya bisa dipakai 1-2 kali tanam saja. Mahalnya harga benih jagung hibrida juga dipicu adanya hak PVT yang dimiliki perusahaan besar sebagai pemulia tanaman berdasarkan UU PVT.
Hak PVT adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada pemulia dan atau pemegang hak PVT untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu (Pasal 1 angka 2 UU PVT). Pemegang hak PVT berhak memberi lisensi kepada orang atau badan hukum lain berdasarkan surat perjanjian lisensi (Pasal 42 UU PVT). Pemberian lisensi akan diikuti pembayaran royalty kepada pemegang hak PVT.
Perlindungan hukum kepada pemulia tanaman berdasarkan UU PVT sesungguhnya bermanfaat mendorong kemajuan pemuliaan tanaman dan pembuatan varietas unggul baru di Indonesia. Meskipun demikian, UU PVT tetap harus memperhatikan kepentingan mayoritas petani kecil. Kemandirian dan kreatifitas petani kecil dalam kegiatan pemuliaan tanaman dan penangkaran benih harus didorong dan diberi payung hukum. Produsen benih skala besar juga harus didorong agar membangun kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan petani kecil agar dapat tumbuh bersama dalam suasana kekeluargaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Praktek kanibalisme usaha besar terhadap usaha kecil, seperti yang dianut paham kapitalisme gaya lama, harus segera ditinggalkan karena tidak sesuai dengan perkembangan jaman.
Pemberdayaan rakyat kecil saat ini telah menjadi program nasional dan telah diatur dalam UU 20/ 2008 tentang UMKM. Program CSR (Corporate Social Responsibility) sebagaimana diatur UU 40/ 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah juga program pemberdayaan rakyat kecil yang dilakukan oleh perusahaan besar. Fakta hukum ini menunjukkan bahwa di masa kini sudah bukan jamannya lagi perusahaan melakukan praktek bisnis gaya Orde Baru yang penuh dengan keserakahan dan ketimpangan sosial.
Petani-petani jagung tersebut dituduh PT BISI melakukan sertifikasi ilegal, pemalsuan benih, pemalsuan cara tanam, pencurian benih induk dan pengedaran benih jagung tanpa label. Namun PT BISI sebagai pemegang hak PVT tidak dapat membuktikan tuduhan pemalsuan benih BISI-2 dan tuduhan meniru cara tanam, sebab ternyata cara tanam perusahaan tersebut tidak dipatenkan. PT BISI juga tidak dapat membuktikan tuduhan pemalsuan benih karena syarat dari tanaman yang dapat memperoleh hak PVT adalah harus : baru, unik, stabil (meski ditanam berulang), dan seragam. Benih jagung hibrida BISI-2 tidak memenuhi syarat karena sifatnya tidak stabil saat ditanam ulang, sehingga tuntutan kepada petani akhirnya hanya diarahkan pada dakwaan sertifikasi ilegal.
Petani-petani kecil di Jawa Timur tersebut sesungguhnya hanya ingin menangkarkan benih jagung demi mempertahankan kelangsungan usaha tani mereka. Sungguh ironis jika niat baik petani kecil untuk mandiri, kemudian harus dibenturkan dengan UU yang justru dibuat untuk memberdayakan nasib mereka. Dalam konsiderans UU SBT dijelaskan bahwa UU tersebut dibentuk dengan tujuan mengatur pengelolaan dan pemanfaatan beraneka ragam sumber daya alam nabati bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, serta untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia demi mewujudkan pertanian yang maju, efisien, dan tangguh. Pasal 3 huruf a dan b UU SBT menyatakan Sistem Budidaya Tanaman bertujuan meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani dan mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.
UU SBT membuka peluang setiap orang (termasuk petani kecil) dan badan hukum melakukan kegiatan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul (Pasal 11). Varietas hasil pemuliaan tanaman tersebut sebelum diedarkan harus lebih dulu dilepas oleh Pemerintah sebagai Benih Bina. Benih Bina yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah. Benih Bina yang lulus sertifikasi dan apabila akan diedarkan wajib diberi label (Pasal 12-13).
UU PVT tidak mengatur peran petani kecil, padahal dalam prakteknya aktor pembuat benih kebanyakan adalah petani kecil yang selama ini dimanfaatkan produsen benih besar. Masyarakat lokal sudah sejak lama berjasa besar dalam pelestarian plasma nutfah dengan melakukan perkembangbiakan benih secara mandiri dan turun temurun. UU PVT hanya mengatur varietas unggul dan varietas introduksi, namun tidak menying-gung benih unggul hasil karya petani lokal, sehingga semakin menguatkan kesan pembuatan UU PVT lebih didorong oleh kepentingan asing (perusahaan multinasional).
UU PVT banyak mengadopsi ketentuan internasional tentang perlindungan varietas tanaman (UPOV convention) tanpa banyak perubahan berarti, sehingga kurang sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara berkembang. Hal ini berbeda dengan UU PVT di India tahun 2001 (Protection of Plant Variety and Farmers’ Right Act) yang lebih mampu melindungi pemulia tanaman dan petani lokal. India juga menawarkan Convention of Farmers and Breeders (CoFaB) yang lebih cocok dengan kondisi negara berkembang karena CoFaB dapat melindungi pemulia tanaman dan petani kecil.
3.2. Penegakan Hukum dalam Kasus Benih Jagung Hibrida di Jawa Timur
Sistem hukum terdiri dari aturan hukum dan penegakan hukum. Sistem hukum dapat berjalan dengan baik apabila aturan hukum dan penegakan hukum dilaksanakan seimbang dan sejalan. Aturan hukum yang baik tidak akan bermanfaat jika tidak didukung penegakan hukum yang baik. Faktor penegakan hukum hingga saat ini masih
Kualitas negara hukum tidak akan menjadi lebih baik dengan hanya mengutamakan unsur perundang-undangan, tetapi harus juga dengan meningkatkan kualitas manusia, baik sebagai aparat penegak hukum yakni hakim, jaksa, advokat, polisi, birokrat, legislator, maupun rakyat biasa. Hukum hanyalah alat yang bisa digunakan demi tujuan positif atau negatif tergantung kesadaran manusia sebagai pelaku hukum. Oleh karena itu menurut Prof. Satjipto Rahardjo kita harus lebih dulu berkonsentrasi pada pembangunan budi pekerti manusia dalam rangka membangun negara hukum, atau dalam istilah beliau “santun dulu baru bernegara hukum”.
Permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur juga disebabkan proses penegakan hukum yang kurang baik. Penegak hukum dalam kasus ini kurang memahami kaitan konteks peristiwa dengan pesan moral UU SBT dan UU PVT. Penegak hukum lebih melihat konteks peristiwa secara hitam-putih. Mereka kurang memahami jiwa UU yang semestinya lebih membela kepentingan petani kecil yang lemah. Mereka terlalu cepat menghakimi kreatifitas petani kecil untuk memproduksi benih jagung hibrida secara mandiri sebagai “kejahatan” yang harus dihukum. Para penegak hukum itu tidak dapat melihat kebenaran tersembunyi : betapa hebat petani kecil yang miskin, tidak terdidik dan tanpa fasilitas pemerintah, ternyata juga mampu membuat benih jagung hibrida !
Jaksa Penuntut Umum mendakwa para petani melakukan sertifikasi ilegal berdasarkan Pasal 61 ayat (1) huruf b UU SBT dengan ancaman pidana penjara 12 bulan dan denda Rp 50 juta. Hakim juga menyatakan bahwa perbuatan para terdakwa merupakan bagian dari sertifikasi. Pendapat Jaksa dan Hakim tersebut patut diragukan kebenarannya, karena bagaimana mungkin kegiatan penangkaran benih mandiri disimpulkan sebagai kegiatan sertifikasi, sebab Pasal 1 angka 6 UU SBT dengan tegas menyebutkan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman setelah melalui peme-riksaan, pengujian, dan pengawasan, serta memenuhi persyaratan untuk diedarkan.
Tiga belas petani yang terjerat kasus serupa terpaksa harus berurusan dengan aparat hukum dan mendapatkan vonis yang berbeda-beda (lihat Lampiran 1). Seorang di antaranya yakni Budi Purwo Utomo, petani Kediri, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya atas putusan PN Kediri yang menjatuhkan vonis enam bulan dengan percobaan satu tahun, namun hasil banding ternyata menguatkan putusan PN Kediri sehingga ia pun mengajukan kasasi ke MA. MA menolak permohonan kasasi tersebut namun tanpa disertai alasan mengapa dalil pemohon kasasi dinyatakan tidak benar. Dalam permohonan kasasinya, Budi mendalilkan bahwa PN Kediri dinilai telah salah menerapkan hukum karena kegiatan penangkaran benih tidak sama dengan sertifikasi.
Penegakan hukum yang baik mensyaratkan adanya penegak hukum yang arif, visioner dan kreatif dalam menafsirkan aturan hukum. Penegakan hukum semestinya dilakukan dengan tujuan melindungi kepentingan petani kecil dan pengusaha besar agar dapat tumbuh bersama dalam suasana kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian, harus selalu dijadikan asas penegakan hukum, sehingga semua potensi bangsa dapat didayagunakan demi kemajuan Indonesia di masa depan.
3.3. Solusi Permasalahan dalam Perspektif Hukum Progresif
Pada masa transisi (era Reformasi) sejak 1998, banyak permasalahan hukum yang diselesaikan layaknya kondisi normal. Hampir tidak ada terobosan hukum yang cerdas dalam menghadapi munculnya berbagai macam persoalan. Hukum hanya dijadikan sebagai pekerjaan rutinitas belaka dan dipermainkan layaknya barang dagangan, sehingga sulit mewujudkan “Hukum yang Pro-Rakyat dan Hukum yang Pro-Keadilan”.
Penggunaan hukum sebagai alat kepentingan penguasa dan/atau pemodal besar sudah sering terjadi, termasuk dalam kasus benih jagung hibrida di Jawa Timur. PT BISI menjerat petani di Kediri, Nganjuk, Ponorogo, Tulungagung, dengan tuduhan sertifikasi liar padahal yang mereka lakukan hanya sebatas penangkaran benih tanpa bermaksud melakukan sertifikasi, sebab benih hanya digunakan di kalangan kelompok tani sendiri.
Permasalahan hukum di bidang pertanian pada masa transisi (era Reformasi) tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara hukum dalam kondisi normal. Gagasan Prof. Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif sangat dibutuhkan untuk menghadapi permasalahan hukum di masa transisi. Penerapan hukum, dalam pandangan Teori Hukum Progresif, tidak lagi berpusat pada peraturan semata, tetapi juga pada kreatifitas penegak hukum dalam mengaktualisasikan hukum, sesuai ruang waktu, konteks peristiwa, dan kondisi sosial budaya masyarakat. Hukum Progresif tidak hanya bersifat responsif, tetapi juga harus bersifat antisipatif terhadap kemungkinan munculnya permasalahan baru.
Hukum Progresif mensyaratkan adanya tiga hal yaitu : (a) pembaharuan hukum secara berkesinambungan, (b) komitmen penguasa (eksekutif, legislatif, yudikatif) untuk selalu bertindak sesuai koridor hukum, dan (c) pemanfaatan Diskresi yang bertanggung jawab dalam praktek penegakan hukum. Pembaharuan hukum secara berkesinambungan diperlukan agar aturan hukum senantiasa sejalan dengan perkembangan masyarakat. Komitmen penguasa diperlukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Pemanfaatan Diskresi diperlukan agar para penegak hukum dapat menerapkan aturan hukum sesuai konteks peristiwa dan kondisi sosial-budaya masyarakat.
Permasalahan benih jagung hibrida di Jawa Timur, jika hendak diselesaikan melalui pendekatan Hukum Progresif, maka pertama kali harus dilakukan pembaharuan UU SBT khususnya ketentuan yang merugikan petani kecil. Ketentuan yang patut direvisi adalah tentang sertifikasi benih, dimana petani kecil harus tetap diberi hak untuk melakukan penangkaran benih secara mandiri dengan syarat : (a) hasil benih digunakan di dalam kelompok tani sendiri, (b) petani tidak boleh menjual benih ke kelompok lain tanpa ijin Dinas Pertanian setempat, (c) benih induk berasal dari hasil pemurnian petani. Di samping itu, ketentuan sertifikasi benih bagi petani kecil juga harus dipermudah.
Pembaharuan UU PVT juga harus dilakukan, terutama yang berkaitan dengan upaya mendorong peran petani kecil dalam pembuatan Benih Unggul Lokal. Benih Unggul Lokal adalah benih yang hanya diakui keunggulannya di daerah tertentu sehingga uji cobanya cukup dilakukan di daerah tertentu. Petani kecil punya potensi besar untuk ikut berpartisipasi dalam pembuatan Benih Unggul Lokal, sehingga petani kecil lebih berse-
mangat melestarikan plasma nutfah di daerahnya. Di sisi lain, perusahaan benih besar harus didorong memproduksi Benih Unggul Nasional yang skala ekonominya jauh lebih besar sehingga harga jualnya lebih murah. Perusahaan benih skala besar harus tetap
Sesuai UU PVT, petani punya hak menggunakan benih dari hasil tanamannya sendiri baik yang berasal dari varietas yang dilindungi dan yang tidak dilindungi, selama tidak diperdagangkan. Pengertian “tidak diperdagangkan” harus diperjelas, misalnya tidak boleh diperdagangkan di luar kelompok taninya. Pemakaian benih unggul tidak boleh dipaksakan, sebab petani kecil juga memiliki pertimbangan ekonomis yang selalu ingin mendapatkan benih unggul berkualitas dengan harga terjangkau.
Selain pembaharuan hukum yang berkesinambungan, pembangunan hukum di bidang pertanian juga harus diikuti dengan komitmen kuat dari penguasa (eksekutif, legislatif, yudikatif) untuk senantiasa bertindak sesuai koridor hukum, sehingga dapat lebih memperkuat wibawa hukum di mata masyarakat. Budaya hukum bernuansa KKN harus segera ditinggalkan agar rakyat makin percaya dengan para penyelenggara negara.
Penggunaan Diskresi yang bertanggung jawab harus didorong agar penegak hukum dapat mengatasi segala macam permasalahan yang banyak muncul di masa transisi. Penggunaan Diskresi diarahkan untuk mewujudkan Keadilan, Kemanfaatan, Kepastian. Penggunaan Diskresi harus tetap diawasi, baik oleh lembaga internal maupun eksternal, agar tidak diselewengkan untuk tujuan pribadi. Penggunaan Diskresi tidak terlepas dari kemampuan penegak hukum untuk menafsirkan hukum secara tepat, sesuai konteks peristiwa dan kondisi sosial-budaya yang melatarbelakangi setiap kasus, sehingga keputusannya tidak bias dan benar-benar menjunjung tinggi Keadilan dan Kebenaran.
Penegak hukum jangan terburu-buru menghakimi “kesalahan” sebagai “kejahatan”. Kesalahan yang timbul karena niat baik justru harus dihargai, sebab kesalahan semacam ini dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan sejati. Sebaliknya, kesalahan yang timbul karena niat jahat (contoh : korupsi) harus diberantas karena merusak kehidupan ber-masyarakat. Menurut pakar motivasi, Darmadi Darmawangsa, “kesalahan/ kegagalan” adalah salah satu kunci sukses keberhasilan sejati. Tidak ada kesuksesan besar tanpa kegagalan besar. Semakin besar orang semakin banyak kegagalannya, sehingga kita perlu dididik untuk lebih dulu “berani gagal” sebelum menjadi orang yang sukses. Masyarakat Indonesia hingga kini lebih condong berbudaya “siap menang tetapi tidak siap kalah” sehingga bangsa kita sulit menciptakan prestasi hebat di tingkat dunia.
Budaya takut kalah atau takut gagal dapat menghambat kemajuan bangsa Indonesia. Budaya semacam ini dapat mewujud dalam banyak bentuk, misalnya : (a) rendahnya minat berwirausaha di kalangan generasi muda, (b) keengganan partai politik menjadi oposisi yang baik, (c) maraknya budaya jalan pintas lewat KKN, (d) rendahnya minat menjadi penemu dan pelopor, (e) keengganan bersaing secara sehat, (f) rendahnya penghargaan terhadap prestasi, (g) suburnya budaya konsumerisme, dan lain-lain.
Pemerintah Daerah dalam kasus ini kurang membela kepentingan petani kecil. Para penguasa tersebut tidak sadar, banyak penemuan besar justru dilakukan oleh orang-orang sederhana dengan cara sederhana dan dengan biaya murah. Wright Bersaudara, tukang reparasi sepeda yang tidak lulus SMA dan tanpa fasilitas pemerintah, ternyata berhasil menemukan pesawat terbang dengan biaya hanya 1.000 dollar, sementara Prof. Samuel L. Langley yang dibiayai Pemerintah AS hingga 50.000 dollar justru gagal. Thomas A. Edison, anak miskin yang hanya lulus SD, juga berhasil menemukan bola lampu listrik dan ribuan penemuan lain tanpa bantuan pemerintah, sehingga Edison pernah berkata “Kesuksesan = 1% Ilham + 99% Kerja Keras”. Bibit-bibit manusia unggul sejatinya bisa muncul di negara manapun, termasuk di Indonesia, asalkan ada lingkungan sosial-budaya yang mendukung, kebebasan berekspresi, perlindungan hukum, dan kebijakan penguasa yang pro terhadap kemandirian dan kreatifitas.
Penyelesaian non-litigasi (di luar pengadilan) melalui negosiasi dan mediasi, dalam kasus benih jagung hibrida di Jawa Timur, sebaiknya lebih diutamakan dibandingkan penyelesaian litigasi, sebab penyelesaian non-litigasi dapat menghasilkan win-win solution. Perusahaan besar dan petani kecil harus didorong agar tumbuh bersama dalam suasana kekeluargaan. Kapitalisme gaya lama yang lebih menguntungkan perusahaan besar dan mematikan usaha kecil, serta paham komunisme yang mempertentangkan kelas sosial, harus ditinggalkan karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. UU SBT dan UU PVT belum secara tegas mengatur tentang peran petani kecil,
2. Penegakan hukum kasus benih jagung hibrida di Jawa Timur terkesan lebih condong
3. Teori Hukum Progresif dapat diterapkan sebagai solusi permasalahan benih jagung
4.2. Saran
1. Pemerintah dan DPR diharapkan merevisi UU SBT dan UU PVT, terutama yang
2. Pemerintah dan DPR harus terus mendorong kemandirian dan kreatifitas petani, serta mendorong tumbuhnya pola kemitraan usaha antara perusahaan besar dan petani
3. Penegak hukum harus lebih arif dalam memahami aturan, konteks peristiwa, dan
4. Perusahaan besar dan petani kecil harus didorong untuk bekerja sama memproduksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar