Senin, September 28, 2009

Pemanfaatan Hukum Lingkungan Sebagai Alat Rekayasa Sosial dalam Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Musibah krisis moneter 1997/1998 yang kemudian diikuti krisis multidimensi, disamping berdampak negatif juga berdampak positif yakni lahirnya era Reformasi yang ditandai tumbuhnya demokrasi, kebebasan berekspresi, dan keterbukaan informasi, sehingga memungkinkan munculnya ide-ide baru, orang-orang baru, cara-cara baru, dan lembaga-lembaga baru. Era Reformasi juga memungkinkan kita mengetahui segala permasalahan bangsa yang selama ini cenderung ditutupi penguasa Orde Baru. Permasalahan tersebut antara lain adanya keserakahan dalam eksploitasi sumber daya alam oleh elit penguasa dan pengusaha yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, pemiskinan penduduk, dan kesenjangan sosial.

Pada masa Reformasi, sejak jatuhnya Presiden Soeharto 21 Mei 1998, banyak terjadi aksi penjarahan dan perusakan lingkungan hidup yang dilakukan rakyat atas perintah oknum aparat dan pemilik modal. Aksi-aksi tersebut terjadi karena lemahnya penegakan hukum yang dipicu hilangnya rasa hormat rakyat kepada aparat hukum akibat terkuaknya banyak praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa Orde Baru.

Permasalahan lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dari upaya Pembangunan Berkelanjutan. Indonesia sebagai negara berkembang harus terus berusaha membangun agar tidak tertinggal dari negara-negara lain. Agar manfaat pembangunan bertahan lama, maka kita harus memperhatikan pelestarian lingkungan hidup. Strategi pembangunan Orde Baru yang lebih mementingkan aspek pertumbuhan ekonomi terbukti gagal karena mengabaikan aspek pemerataan, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan hidup.

Permasalahan hukum di masa transisi atau di masa krisis tidak bisa ditangani lewat prosedur hukum yang biasa berlaku pada saat kondisi normal. Menghadapi kondisi transisional dimana persoalan saling berhimpitan, serba darurat dan penuh komplikasi, aparat penegak hukum dituntut mampu melakukan langkah-langkah terobosan dalam menjalankan hukum dan tidak sekedar menerapkan aturan hukum secara hitam-putih. Hal ini penting karena banyak peraturan sudah ketinggalan zaman, peraturan yang ada
tidak mampu menjawab permasalahan yang muncul, ataupun peraturan yang ada saling kontradiktif dan tumpang tindih. Karena itu kehadiran pelaku hukum yang arif, visioner, dan kreatif mutlak perlu untuk memandu pemaknaan kreatif terhadap aturan-aturan yang demikian. Aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, hakim dituntut mencari dan menemukan Keadilan dan Kebenaran dalam batas dan di tengah keterbatasan kaidah hukum yang ada. Inilah inti terobosan Hukum Progresif.

Teori Hukum Progresif tidak dapat dipisahkan dari pendapat Prof. Satjipto Rahardjo SH tentang kekacauan hukum dan penegakan hukum di Indonesia pada era Reformasi. Teori ini mencoba memberi solusi permasalahan tersebut antara lain melalui dua cara : (1) pemanfaatan Hukum sebagai alat rekayasa sosial, dan (2) pemanfaatan Diskresi yang bertanggung jawab dalam upaya penegakan hukum. Penggunaan kedua cara tersebut harus diarahkan untuk mencapai dua tujuan Hukum Progresif yaitu “Hukum yang Pro-Keadilan” dan “Hukum yang Pro-Rakyat”, dan juga harus diarahkan untuk mewujudkan tiga tujuan hukum menurut Gustav Radbruch yaitu : Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum. Hukum yang Pro-Rakyat sesungguhnya adalah hukum yang juga menjunjung tinggi Kemanfaatan dan Kepastian Hukum. Penulis selanjutnya mengkaji kedua cara tersebut dikaitkan dengan fungsi Hukum Lingkungan dalam mendukung Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini terdiri dari :
1. Apakah fungsi Hukum Lingkungan dalam mendukung Pembangunan Berkelanjutan dan
Pelestarian Lingkungan Hidup ?
2. Bagaimana seharusnya Hukum Lingkungan dimanfaatkan sebagai alat rekayasa sosial pada
masa transisi (era Reformasi) saat ini ?
3. Bagaimana seharusnya Diskresi dimanfaatkan dengan benar dalam rangka penegakan Hukum
Lingkungan pada masa transisi (era Reformasi) saat ini ?
Ketiga rumusan masalah tersebut akan dijawab, dikaji, dan dijabarkan lebih lanjut dalam Bab Pembahasan (Bab III). Penulis juga membuat skema kerangka konseptual sebagaimana disajikan pada Tabel 1 (terlampir) untuk memberikan gambaran sederhana perihal alur pemikiran dalam mengkaji ketiga rumusan masalah tersebut.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup

Pembangunan Berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup menurut UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 angka 3, ialah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Pengertian “Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup”, menurut Pasal 1 angka 5, adalah rangkaian upaya memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Pengertian “Daya Dukung” lingkungan hidup, menurut Pasal 1 angka 6 adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain; sedangkan pengertian “Daya Tampung” lingkungan hidup menurut Pasal 1 angka 8 adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

Isu lingkungan hidup dan pembangunan telah menjadi agenda penting masyarakat internasional di forum regional dan multilateral sejak tahun 1972 setelah pelaksanaan konferensi internasional mengenai Human Environment di Stockholm, Swedia dan khususnya setelah KTT Bumi di Rio De Janeiro, Brazil tahun 1992. Sejak itu, masyarakat internasional menilai bahwa perlindungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama dan tidak terlepas dari aspek pembangunan ekonomi dan sosial. Negara-negara berkembang, berhasil menuangkan hal-hal penting bagi kepentingan mereka di dalam kesepakatan yang tertuang di dalam prinsip-prinsip Deklarasi Stockholm, Deklarasi Rio De Janeiro, dan Agenda 21. Hal-hal penting tersebut antara lain adalah : keterkaitan erat antara pembangunan dengan perlindungan lingkungan hidup, komitmen negara maju untuk meningkatkan kerjasama internasional melalui program peningkatan pembangunan negara-negara berkembang, penyaluran dana bantuan dan alih teknologi dari negara-negara maju termasuk peningkatan stabilitas harga komoditi, dan komitmen negara maju menyediakan bantuan luar negeri sebesar 0,7% dari PDB. Deklarasi Stockholm juga mengakui kedaulatan sepenuhnya setiap negara dalam pelaksanaan eksplorasi dan pengelolaan sumber daya alam sesuai kebijaksanaan lingkungan masing-masing negara.

Terlepas dari keberhasilan dalam bidang normatif dan institusional, kondisi lingkungan hidup global malahan cenderung merosot. Kondisi ekonomi dan sosial masyarakat bangsa-bangsa juga mengalami penurunan. Menipisnya lapisan ozon yang sangat berbahaya bagi kesehatan, peningkatan permukaan air laut akibat pemanasan bumi (global warming), punahnya sumber daya kelautan, penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi lahan, serta keterbatasan sumber air bersih merupakan indikasi semakin rusaknya kondisi lingkungan hidup global. Kemiskinan, penurunan kualitas kesehatan manusia, marginalisasi negara-negara berkembang, terjangkitnya epidemik seperti HIV-AIDS merupakan indikator kondisi sosial ekonomi yang semakin merosot. Faktor-faktor ini sangat tidak kondusif dalam mendukung upaya pelestarian lingkungan hidup yang sangat penting bagi generasi kini dan mendatang.

KTT Bumi 1992 telah menghasilkan Deklarasi Rio, Agenda 21, Forests Principles, Konvensi Perubahan Iklim (Climate Change) dan Keanekaragaman Hayati (Biodiver-sity). Untuk pertama kali, peran aktor non pemerintah yang tergabung dalam major group mendapat pengakuan dan sejak saat itu peran mereka dalam keberhasilan pemba-
ngunan berkelanjutan tidak dapat diabaikan. KTT Bumi juga menghasilkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan yang mengandung 3 pilar utama yang saling terkait dan menunjang yakni pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pelestarian ling-
kungan hidup . Pelaksanaan konferensi PBB tentang perubahan iklim atau UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) di Bali, pada tanggal 3 sampai dengan 14 Desember 2007, semakin meneguhkan peran penting Indonesia di dunia internasional dalam mendorong Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup dikaitkan dengan isu penanggulangan dampak pemanasan global (global warming). Pertemuan Bali semakin meneguhkan tekad negara-negara sedunia mengurangi emisi gas karbon untuk menanggulangi dampak negatif pemanasan global. Pada pertemuan tersebut Indonesia juga berhasil memperjuangkan insentif dari negara maju kepada negara sedang berkembang yang berhasil menjaga kelestarian hutannya.

2.2. Hukum di Masa Transisi dan Teori Hukum Progresif
Bidang hukum sangat berkaitan dengan perkembangan bangsa, bahkan menurut Prof. Satjipto Rahardjo SH, hukum harus difungsikan untuk menghadapi totalitas kehidupan bangsa. Tahun 2007, Indonesia sedikit banyak boleh disamakan dengan Amerika Serikat tahun 1960. Saat itu Amerika juga dihadapkan pada problem besar yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Sementara itu, praktek hukum konvensional ternyata gagal menyelesaikan problem itu sehingga orang lalu bertanya “apakah hukum sudah mati?”. Jika cara berhukum tidak difungsikan untuk menghadapi totalitas kehidupan, maka negara hukum hanya dapat membuat peraturan perundang-undangan saja. Dalam penegakan hukum, setiap kali orang hanya berpikir dan bertanya “undang-undang manakah yang dilanggar?” atau “pasal-pasal apakah yang diterapkan?”. Penegakan hukum hanya dipahami sebagai menjalankan perundang-undangan dan sistem hukum secara rasional, bukan dengan tujuan memecahkan problem sosial. Memfungsikan hukum sebagai institut yang harus berhadapan dengan totalitas kehidupan menjadikan hukum selalu waspada dan terlibat ke dalam penyelesaian problem bangsa. Pada saat korupsi menjadi problem besar bangsa ini, misalnya, hukum juga segera merasakannya sebagai problem hukum.

Amerika Serikat telah memberikan contoh yang bagus, yakni pada saat hukum dihadapkan kepada usaha membangun Amerika yang modern sekian ratus tahun lalu. Saat itu dengan berani Amerika membuat sendiri American Concept of Law, American Approach of Law, Distinctly American Development, dengan tidak memperdulikan pro-
tes dunia internasional terhadap cara Amerika Serikat menjalankan hukum yang keluar dari kebiasaan. Kita tidak dapat lagi menjalankan hukum sebagai business as usual teta-
pi harus progresif dan kreatif mencari avenues baru untuk mengatasi masalah bangsa.

Krisis masyarakat mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap hukum daripada aktivitas sosial lain. Perubahan dalam dasar-dasar masyarakat mengubah pula dasar-dasar nilai hukum. Dasar-dasar hukum dengan jelas dipengaruhi oleh dasar-dasar politik, ekonomi, kehidupan sosial, dan kesusilaan. Sebaliknya hukum mempunyai tugas memberi kepadanya bentuk dan ketertiban.

Meski setiap kali persoalan-persoalan hukum muncul dalam nuansa transisi (era Reformasi), namun penyelenggaraan hukum terus saja dijalankan layaknya kondisi normal. Hampir tidak ada terobosan hukum yang cerdas dalam menghadapi kemelut transisi pasca Orde Baru. Yang lebih memprihatinkan, hukum tidak saja dijalankan seperti rutinitas belaka (business as usual) tapi hukum juga dipermainkan seperti barang dagangan (business-like), akibatnya hukum terdorong ke jalur lambat dan mengalami kemacetan yang cukup serius. Dari sinilah kemudian Prof. Satjipto Rahardjo SH menyatakan perlunya Hukum Progresif.

Proses perubahan bagi Hukum Progresif tidak lagi berpusat pada peraturan semata tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis-formal. Keadilan justru diperoleh lewat intuisi, karenanya argumen logis-formal diperoleh sesudah Keadilan ditemukan, yaitu untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Hukum Progresif merangkul baik peraturan maupun kebutuhan sosial sebagai dua hal yang harus dipertimbangkan dalam tiap keputusan. Hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Hukum Progresif memiliki sifat responsif, dimana regulasi hukum selalu dikaitkan dengan tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan. Hukum Progresif melihat dan menilai hukum dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.

Menurut Prof. Satjipto Rahardjo SH, hukum tidak dapat berdiri sendiri dan selalu bergantung pada tuntutan lingkungannya (habitat sosialnya). Selain itu hukum juga harus memiliki kandungan kulturalnya sendiri. Dengan demikian, suatu masyarakat yang memilih hukum yang demokratis juga harus mengembangkan kultur yang demokratis pula. Kehidupan demokrasi selalu butuh dukungan Hukum Progresif







BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Fungsi Hukum Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan Berkelanjutan tidak dapat dilepaskan dari Pelestarian Lingkungan Hidup. Perwujudan kedua hal tersebut mensyaratkan adanya sistem hukum dan penegakan hukum yang efisien dan efektif. Fungsi Hukum Lingkungan dalam mendukung upaya Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup tidak dapat dilepaskan dari pendapat Gustaf Radbruch tentang adanya tiga asas hukum atau tiga tujuan hukum yaitu : Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian.

Aspek Keadilan menunjuk pada kesamaan hak setiap orang di depan hukum. Aspek Kemanfaatan menunjuk pada tujuan Keadilan yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia (masyarakat). Keadilan dan Kemanfaatan menentukan isi hukum, sedangkan aspek Kepastian menunjuk pada adanya jaminan bahwa hukum (yang berisi Keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan) benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Aspek Keadilan dan Kemanfaatan merupakan kerangka ideal hukum, sedangkan aspek Kepastian merupakan kerangka operasional hukum.

Pendapat Gustav Radbruch tentang tiga tujuan hukum (Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian) lahir sebagai koreksi atas teori hukum Hans Kelsen yang berpendapat “Hukum itu normatif karena adanya Norma Dasar (Grundnorm)”. Hans Kelsen lebih menekankan aspek Kepastian Hukum yaitu adanya keharusan dan kewajiban menaati hukum hanya karena telah ditentukan demikian secara yuridis-formal. Pendapat Hans Kelsen yang lebih mementingkan aspek yuridis-normatif sehingga mengabaikan aspek Keadilan dan Kemanfaatan, kemudian disalahgunakan Rezim NAZI (Adolf Hitler) untuk menjalankan pemerintahan Jerman yang otoriter dan sangat kejam.

Tanpa Kepastian Hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya sehingga akhirnya timbul keresahan. Tetapi apabila kita terlalu mengejar Kepastian Hukum, terlalu ketat dalam menaati peraturan hukum, akibatnya akan menjadi kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Undang-undang sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat: lex dura, sed tamen scripta (undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya). Menurut Mertokusumo, kalau dalam hukum yang diperhatikan hanyalah Kepastian Hukum, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah Kemanfaatan, maka Kepastian Hukum dan Keadilan dikorbankan, demikian seterusnya. Oleh karena itu dalam penegakan Hukum Ling-kungan ketiga unsur tersebut yaitu Kepastian, Kemanfaatan, dan Keadilan harus dikompromikan. Artinya ketiganya harus mendapat perhatian secara proporsional meskipun di dalam praktek tidak selalu mudah melakukannya.

Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia mempunyai asas, tujuan, dan sasaran tertentu. Pasal 3 menyatakan pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan dan asas manfaat, bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penjelasan Pasal 3 menyatakan berdasarkan asas tanggung jawab negara, di satu sisi, negara menjamin bahwa pemanfaatan sumberdaya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. Sementara di sisi lain, negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dalam wilayah yuridiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah yuridiksi negara lain, serta melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara. Asas keberlanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan.

Sasaran pengelolaan lingkungan hidup menurut Pasal 4 UU Nomor 23 Tahun 1997, adalah : (a) tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup, (b) terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup, (c) terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan, (d) tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup, (e) terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana, (f) terlindunginya NKRI terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Menurut Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, ada pendapat keliru yang mengatakan bahwa penegakan hukum hanyalah melalui proses di pengadilan. Ada pula pendapat keliru, seolah-olah penegakan hukum adalah semata-mata tanggung jawab aparat penegak hukum. Padahal, sesungguhnya, penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh anggota masyarakat sehingga untuk itu pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut, antara lain, dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, pelatihan singkat bagi aparat penegak hukum dan aparatur pemerintah yang akan melaksanakan undang-undang. Dalam hal penanganan kasus-kasus pencemaran lingkungan di lapangan, ditentukan pula kasus-kasus prioritas yang dapat diselesaikan secara hukum, dan pengembangan sistem penegakan hukumnya.

Dalam penegakan hukum, khususnya yang berhubungan dengan lingkungan hidup, diperlukan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner sehingga diperlukan pema-
haman berbagai disiplin ilmu lain yang terkait. Penegakan hukum dilaksanakan melalui berbagai jalur dengan berbagai sanksi, seperti sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana. Dalam kasus pencemaran lingkungan, jalur pertama penegakan hukum
seharusnya adalah jalur administratif dengan sanksi administratif : (1) pemberian teguran keras, (2) pembayaran uang paksa, (3) penangguhan ijin, (4) pencabutan ijin.

Faktor pengawasan dan penegakan hukum yang konsekuen sangat banyak artinya dalam usaha mempertahankan konservasi lingkungan. Benturan, dampak, dan interaksi yang berlebihan pada lingkungan dapat dicegah melalui sistem pengawasan dan penegakan hukum. Tetapi sebaliknya, faktor kontrol yang lemah dan sistem enforcement yang tidak tegas dapat menjadi peluang besar bagi masyarakat untuk menggunakan lingkungan sekehendaknya. Misalnya, intensitas keparahan ekosistem hutan yang kita rasakan saat ini banyak disumbang oleh kurangnya pengawasan aparat berwenang terhadap para pemegang HPH. Begitu pula terhadap cara-cara kerja para peladang berpindah yang masalahnya kian pelik ditanggulangi karena kurangnya kontrol dari Departemen Pertanian atau Departemen Kehutanan.

3.2. Pemanfaatan Hukum Lingkungan Sebagai Alat Rekayasa Sosial

Perubahan masyarakat dapat terjadi secara bertahap (evolusi) maupun secara mendadak (revolusi). Sepanjang sejarah, perubahan sosial secara revolusioner umumnya dilakukan melalui politik kekerasan yang penuh dengan tetesan darah dan air mata sehingga berpotensi menimbulkan balas dendam. Pada masa kini perubahan sosial dengan cara kekerasan mulai banyak ditinggalkan dan diganti dengan perubahan sosial secara damai yang dipandu oleh Hukum dan Kebijaksanaan. UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3) jelas-jelas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali dalam waktu sangat singkat (1999-2002) adalah satu contoh keberhasilan penggunaan Hukum dan Kebijaksanaan sebagai alat rekayasa sosial atau sebagai alat pemandu perubahan sosial di Indonesia.

Keberanian MPR era Reformasi mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali dapat digolongkan sebagai “Revolusi Konstitusional”. Sejak saat itu kehidupan bangsa kita mengalami revolusi dalam berbagai bidang, akibat adanya : (a) pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal dua periode, (b) pemilihan langsung Presiden, Wakil Presiden, DPD, DPR, DPRD, dan Kepala Daerah (c) pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia, (e) lembaga baru Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Pemilihan Umum, (f) pemisahan TNI dengan Polri, dan lain-lain.

Amandemen UUD 1945 di era Reformasi juga memicu munculnya banyak aturan hukum baru yang mencoba mengisi kekosongan hukum serta menjawab segala permasalahan yang banyak muncul selama masa Reformasi. Peraturan baru tersebut dalam prakteknya kurang diimbangi faktor penegakan hukum. Penegakan hukum di Indonesia sangat lemah akibat masih kuatnya budaya hukum Orde Baru yang bernuansa KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Lembaga penegak hukum yang lama (Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman) masih banyak yang tercemar KKN, sehingga hukum hanya dijadikan sebagai alat mencari keuntungan pribadi semata.

Berdasarkan contoh keberhasilan Amandemen UUD 1945, maka pemanfaatan Hukum Lingkungan sebagai alat rekayasa sosial untuk mendukung upaya Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup menjadi sangat mungkin untuk diterapkan, asalkan ada komitmen kuat dari elit kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan aparat penegak hukum untuk selalu bertindak sesuai koridor hukum dan selalu berupaya untuk memperbaharui dan menyempurnakan hukum mengikuti perkembangan masyarakat. Pemanfaatan Hukum Lingkungan sebagai alat rekayasa sosial juga bertujuan untuk mewujudkan Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum.

Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu “Hukum untuk Manusia”. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum bukan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan Hukum Progresif menganut ideologi : “Hukum yang Pro-Keadilan dan Hukum yang Pro-Rakyat”. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaannya) harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum. Pendapat ini semakin mempertegas kaitan antara Hukum Progresif dan pemanfatan Hukum sebagai alat rekayasa sosial dengan bidang studi tentang manusia, masyarakat dan budayanya.

Hukum Progresif bersifat emansipatoris (membebaskan). Hukum Progresif juga dekat dengan paham social engineering (rekayasa sosial) dari Roscoe Pound (ahli hukum Amerika Serikat, pelopor Pragmatisme Hukum). Paham ini menggunakan “Hukum sebagai Alat Rekayasa Sosial” dengan mewajibkan semua pelaku hukum menemukan cara-cara yang dinilai paling baik untuk memajukan dan mengarahkan masyarakat. Hukum dianggap memiliki potensi besar untuk melakukan perubahan sosial secara terencana, sebab selain memiliki legalitas formal, hukum juga mempunyai kewenangan pemaksa yang dalam bekerjanya didukung aktivitas birokrasi. Pendapat Prof. Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif yang bersifat emansipatoris atau membebaskan dapat diartikan bahwa pemanfaatan Hukum harus selalu diarahkan untuk memerdekakan manusia dari belenggu penjajahan dan ketidakadilan di segala bidang kehidupan. Hukum tidak boleh digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menghalangi kemajuan individu dan masyarakat sebagaimana dipraktekkan di negara otoriter. Di samping itu, Hukum juga tidak boleh digunakan untuk mendukung kepentingan individu secara berlebihan sehingga merugikan kepentingan masyarakat.

Pemanfaatan Hukum (termasuk Hukum Lingkungan) sebagai alat rekayasa sosial selalu membutuhkan pembaharuan dan penyempurnaan hukum secara berkesinambungan, agar aturan hukum yang ada dapat selalu menjawab setiap permasalahan yang muncul di masyarakat. Proses pembaharuan hukum itu dalam prakteknya memang tidak mudah dilakukan karena harus melibatkan lembaga politik (Parlemen) yang anggotanya berasal dari partai-partai politik yang memiliki berbagai macam kepentingan. Pada masa Reformasi saat ini, lembaga eksekutif (Pemerintah) tidak lagi dapat seenaknya sendiri membuat peraturan tanpa melibatkan wakil rakyat di Parlemen. Dalam mengatasi kelambanan ini, maka Teori Hukum Progresif memberi jalan keluar melalui pemanfaatan Diskresi yang bertanggung jawab dalam upaya penegakan hukum. Dengan kata lain, pemanfaatan Hukum sebagai alat rekayasa sosial senantiasa beriringan dengan pemanfaatan Diskresi sebagai alat penegakan hukum.

3.3. Pemanfaatan Diskresi dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Diskresi (discretion) dapat diartikan sebagai pertimbangan, kemerdekaan bertindak, atau kebijaksanaan. Jika dikaitkan dengan penegakan hukum, maka Diskresi dapat diartikan sebagai pemberian “kebebasan yang bertanggung jawab” kepada setiap aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) untuk menafsirkan hukum dan melaksanakan hukum secara tepat sesuai dengan konteks peristiwa dan konteks sosial-budaya masyarakat. Tanpa Diskresi atau tanpa kebebasan yang bertanggung jawab, maka aparat penegak hukum tidak akan mampu mewujudkan asas-asas hukum yaitu Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum. Selama ini, aturan Diskresi dalam penegakan hukum hanya ditujukan kepada aparat Kehakiman, yaitu berdasarkan UUD 1945 (Hasil Amandemen) Pasal 24 Ayat (1) yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Berdasarkan Pasal tersebut, para hakim diberikan kebebasan sepenuhnya dalam membuat keputusan hukum tanpa dapat diintervensi pihak lain bahkan atasannya sendiri. Mahkamah Agung (MA) juga tidak boleh mencampuri proses keputusan hakim, walaupun MA tetap diberi hak untuk mengoreksi hasil putusan hakim di bawahnya melalui mekanisme Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Aturan Diskresi bagi aparat Kepolisian dan Kejaksaan belum diatur secara tegas oleh Konstitusi dan Undang-Undang sehingga lebih banyak berbentuk konvensi (kebiasaan/ aturan tidak tertulis).

Hukum Progresif juga sangat mementingkan peran Diskresi. Karena Hukum Progresif lebih mengutamakan tujuan dan konteks daripada teks-teks aturan semata, maka soal Diskresi menjadi sangat urgen dalam penyelenggaraan hukum. Dalam Diskresi, para penyelenggara hukum dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus bertindak. Diskresi yang dilakukan seorang penyelenggara hukum semata-mata atas dasar pertimbangan kegunaan dan kefungsian tindakan itu dalam mencapai tujuan yang lebih besar demi menjaga kewibawaan hukum itu sendiri. Pada dasarnya Diskresi ditempuh karena sarana hukum yang ada dirasakan kurang efektif dan terbatas.

Penggunaan Diskresi dalam penegakan hukum membutuhkan sosok penegak hukum berkesadaran tinggi yang selalu mampu bersikap positif dalam kondisi sesulit apapun. Menurut Darmadi Darmawangsa, salah satu ciri orang sukses adalah adanya attitude atau sikap yang positif dalam menghadapi kehidupan. Orang optimis selalu mengambil tindakan, sementara orang pesimis lebih senang diam dan menunggu. Orang optimis selalu memberikan kontribusi bagi orang lain dan lingkungannya, sementara orang pesimis selalu mengambil kesempatan atau manfaat dari orang lain dan lingkungan sekitarnya. Orang optimis selalu melihat kesempatan, sementara orang pesimis selalu melihat hambatan-hambatan. Orang optimis selalu bersikap responsif dalam menghadapi setiap masalah, sedangkan orang pesimis selalu bersikap reaktif.

Kualitas penegakan hukum berbeda-beda, mulai dari yang sangat lembek, lembek, keras, sampai luar biasa keras. Konon seorang pemimpin China (PM Zhu Rong Ji) berjanji akan memesan 100 peti mati untuk para koruptor dan salah satunya untuk dirinya manakala dia melakukan korupsi. Di masa kini penegakan hukum oleh polisi, jaksa, pengacara, dan hakim, memerlukan kualitas progresif. Kita membutuhkan penegakan hukum dan penegak hukum yang berkualitas beyond the call of duty yaitu yang bekerja di atas standar biasa atau di atas rata-rata. Undang-undang hanya bicara secara abstrak dan datar, baru di tangan penegak hukum itulah kekuatan hukum bisa diuji kemampuannya. Maka, sikap progresif sangat diperlukan.

Kualitas negara hukum tidak menjadi lebih baik dengan hanya mengutamakan unsur perundang-undangan, tetapi harus dengan meningkatkan kualitas manusia, baik itu hakim, jaksa, advokat, polisi, birokrat, legislator, atau rakyat biasa. Oleh karena itu, menurut Prof. Satjipto Rahardjo kita harus lebih berkonsentrasi pada pembangunan budi pekerti manusia Indonesia dalam rangka membangun negara hukum, atau dalam istilah beliau “santun dulu baru bernegara hukum”. Hukum formal, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, adalah hukumnya para profesional hukum. Di tangan mereka hukum bisa ditekuk-tekuk untuk keperluan profesi. Itulah barangkali yang membuat William Shakespeare begitu berang terhadap para yuris sehingga ingin menghabisi mereka semua. Hukum hanyalah alat yang dapat digunakan untuk tujuan positif atau negatif tergantung pada kesadaran manusia atau pelaku hukumnya, sehingga pendidikan budi pekerti sejak usia dini harus didahulukan sebelum menempuh pendidikan hukum.

Negara-negara lain, termasuk negara-negara sedang berkembang, telah mendorong para hakim untuk giat menyumbang Hukum Lingkungan melalui putusannya. Putusan hakim tersebut akan menjadi yurisprudensi yang baik bagi dasar Hukum Lingkungan. Para hakim di Filipina, misalnya, dalam kasus Minor Opposa (1993), memutuskan hak penegakan ekologi yang seimbang dan sehat serta mengenai ekosistem hutan yang makin rusak akibat dibabat para pemegang HPH, sehingga dikhawatirkan bukan hanya menghabiskan cadangan untuk kepentingan generasi sekarang, tetapi juga bagi generasi yang akan datang. Kasus ini berhubungan atau merujuk pada Deklarasi Rio 1992 : The Principle of Intergenerational Equity. Contoh lain adalah kasus Shela Zia vs Wapda, yang diputuskan Mahkamah Agung Pakistan (1994) dengan menggugat rencana pembangunan stasiun pembangkit listrik di dekat pemukiman yang dikhawatirkan menimbulkan radiasi elektro magnetik (EMR). Bukti-bukti tentang EMR masih diperdebatkan, tetapi hakim mengeyampingkan masalah itu dan mengatakan bahwa tiadanya bukti ilmiah yang pasti bukan alasan untuk mencegah efek radiasi. Putusan ini begitu penting karena bisa meneguhkan prinsip pencegahan dini (Precautionary Principle) sebagaimana ditetapkan dalam Deklarasi Rio. Pelaksanaan perundang-undangan di Indonesia, juga tampak lemah dan tidak konsekuen. Sebagai contoh, UU Kehutanan (UU Nomor 41/ 1999) jelas-jelas melarang kegiatan tambang di kawasan hutan, khususnya penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Namun nyatanya pemerintah tetap memberikan izin penambangan di kawasan hutan lindung.

Penggunaan Diskresi yang bertanggung jawab oleh penegak hukum harus terus didorong agar mereka dapat mengatasi segala macam permasalahan yang banyak muncul di masa transisi saat ini. Penggunaan Diskresi tersebut harus diarahkan untuk mewujudkan tiga asas hukum yaitu : Keadilan, Kemanfaatan, Kepastian. Penggunaan Diskresi tidak dapat dilepaskan dari kemampuan aparat penegak hukum dalam melakukan penafsiran hukum secara tepat. Setiap aparat penegak hukum harus memiliki pemahaman yang baik terhadap aturan hukum, konteks peristiwa, dan konteks sosial-budaya yang melatarbelakangi setiap kasus, agar keputusannya tidak bias dan benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum.

Kemampuan penafsiran hukum tidak dapat diperoleh dalam waktu singkat, bahkan harus melalui proses pendidikan panjang sejak usia dini. Kurikulum sekolah saat ini yang hanya mengutamakan Intellegence Quotient (IQ) atau Kecerdasan Pikiran harus disempurnakan dengan menambahkan kurikulum yang dapat merangsang Emotional Quotient (EQ) atau Kecerdasan Emosional, dan Spiritual Quotient (SQ) atau Kecerdasan Spiritual. Nilai-nilai Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum tidak akan dapat diwujudkan oleh penegak hukum yang hanya ber-IQ tinggi, tetapi ber-EQ rendah dan ber-SQ rendah, sebab orang semacam ini cenderung egois, korup, tidak berperasaan, dan hanya pandai memutarbalikkan hukum untuk kepentingan pribadi.

EQ memberi kita kesadaran mengenai perasaan diri sendiri dan orang lain. EQ memberi rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat. EQ digunakan sebagai persyaratan dasar untuk menggunakan IQ secara efektif. Jika bagian otak yang dipakai untuk “merasa” telah rusak, maka kita tidak dapat berpikir efektif. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan SQ merupakan kesadaran tertinggi kita.

IQ dan EQ secara terpisah atau bersama-sama, tidak cukup menjelaskan keseluruhan kompleksitas kecerdasan manusia, kekayaan jiwa serta imajinasinya. Komputer memiliki IQ tinggi sebab mereka mengetahui aturan dan mengikutinya tanpa salah. Banyak hewan mempunyai EQ tinggi sebab mereka mengenali situasi yang ditempatinya dan mengetahui cara menanggapi situasi dengan tepat. Tetapi, komputer dan hewan tidak pernah bertanya mengapa kita memiliki aturan dan situasi, atau apakah aturan dan situasi itu bisa diubah atau diperbaiki. Mereka hanya bisa bekerja di dalam batasan atau memainkan “permainan terbatas”. Sebaliknya, SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, mampu mengubah aturan dan situasi, dan memungkinkan kita memainkan “permainan yang tak terbatas”.

Pendidikan Berimbang, yang mengajarkan ketiga jenis kecerdasan manusia (IQ, EQ, SQ), harus sudah dimulai sejak usia dini. Kecerdasan Pikiran (IQ) dapat dikembangkan antara lain dengan melatih berpikir rasional-logis lewat Matematika. Pelajaran yang hanya menekankan aspek hafalan harus dikurangi seminimal mungkin, agar otak siswa dapat mengembangkan daya nalar yang sehat dan kreatif. Kecerdasan Emosional (EQ) dapat dikembangkan melalui praktek nyata di lapangan, kegiatan seni budaya, dan kegiatan olahraga yang menjunjung tinggi sportifitas. Semua pelajaran di sekolah harus dapat “dipraktekkan” secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, agar pelajaran tersebut tidak mudah dilupakan. EQ akan tumbuh otomatis bersamaan dengan tumbuhnya rasa cinta siswa terhadap ilmu dan kegiatan yang ditekuninya. Kecerdasan Spiritual atau kepekaan Hati Nurani (SQ) dapat tumbuh manakala nilai-nilai Ketuhanan (misalnya Kasih Sayang, Kejujuran, Keadilan) benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, di masyarakat, dan di keluarga. SQ dapat ditumbuhkan lewat kegiatan yang mendorong kecintaan siswa kepada alam sekitarnya, sehingga mereka dapat merasakan kesatuan dengan alam semesta. Pelatihan introspeksi diri, kemandirian, dan meditasi juga dapat menumbuhkan SQ. SQ tidak selalu identik dengan kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan yang hanya mementingkan ritual tanpa menghayati kehidupan hanya akan melahirkan manusia fanatik yang tidak punya kepekaan sosial.

Praktek Pendidikan Berimbang belum banyak dilakukan di Indonesia, bahkan di tingkat pendidikan tinggi. Di Fakultas Hukum yang kelak menghasilkan para penegak hukum, sebagai contoh, mata kuliah hukum kebanyakan hanya menekankan aspek hafalan. Sangat jarang dosen mengaitkan mata kuliahnya dengan kejadian aktual di masyarakat. Kegiatan praktek lapangan di lembaga-lembaga hukum (Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Penjara, LBH, dan lain-lain) mulai banyak yang ditiadakan. Mahasiswa hanya dipacu untuk segera lulus dengan IPK tinggi, tanpa diberi kesempatan merasakan ilmu yang dipelajarinya. Dengan model pendidikan semacam ini, maka wajar jika kelak para sarjana hukum hanya berpikiran egois, materialistik, manja, senang jalan pintas, dan tidak tahan menderita. Di sisi lain, pendidikan hukum yang hanya mengandalkan IQ juga dapat menghasilkan sarjana hukum yang kaku, tidak peka dengan penderitaan rakyat, dan hanya pandai berpikir secara yuridis-normatif.

Niat awal mahasiswa untuk menjadi sarjana hukum, kebanyakan bukan lagi untuk menjadi aparat hukum yang mengabdi kepada Tuhan dan Masyarakat. Mereka sudah tercemar penyakit sosial bangsa kita yang hanya menjadikan uang dan jabatan sebagai tujuan hidup. Gejala sikap mental materialistik ini juga melanda mahasiswa jurusan lainnya. Mereka sudah lupa ajaran Agama dan leluhur yang menjadikan pekerjaan sebagai alat beribadah atau alat persembahan kepada Tuhan, Masyarakat, dan Alam Semesta. Niat untuk mengejar uang dan kedudukan itulah yang kelak membuat mereka menjadi aparat penegak hukum yang korup dan zalim. Kita sering meremehkan niat awal, padahal niat awal itulah yang akan menentukan masa depan kita, sebagaimana sabda Nabi Muhammad : “segala amal perbuatan tergantung dari niat-nya”.

Mahasiswa hukum di Indonesia jarang membaca karya sastra (novel atau film) bertema hukum. Padahal, mahasiswa hukum di Amerika Serikat diharuskan membaca karya sastra bertema hukum atau yang lazim disebut Law through Literature. Mahasiswa diajak membaca, memahami, dan berdiskusi tentang novel bertema hukum misalnya The Firm atau Pelican Brief. Mahasiswa juga diajak mengikuti kasus khusus yang sedang aktual di masyarakat. Mereka kemudian diminta membuat opini hukum yang terkait dengan kasus tersebut. Lewat pelatihan yang terus menerus semacam itulah, kelak akan lahir penegak hukum yang benar-benar mampu menafsirkan hukum secara tepat sesuai konteks peristiwa dan konteks sosial-budaya masyarakatnya.

Pentingnya pendidikan budi pekerti sejak usia dini sebagai dasar pendidikan hukum, juga disinggung oleh Prof. Satjipto Rahardjo. Perilaku disiplin, budaya antre, jujur, menghormati teman, kesantunan, adalah pendidikan hukum par excellence. Manusia Indonesia perlu diobati dulu dari aneka penyakit mentalitas menerabas, tidak menghargai mutu, ingin cepat berhasil tanpa usaha, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, dan lain-lain. Langkah teraputik inilah yang ditransformasikan menjadi pendidikan hukum substansial, sebelum masuk ke pernak-pernik perundang-undangan, prosedur, sistem, dan sebagainya. Pendidikan budi pekerti sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, pada hakikatnya sama dengan Pendidikan Berimbang. Pendidikan budi pekerti bukan sekedar pelajaran yang bersifat teoritis dan hafalan, tetapi harus benar-benar dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari para siswa pada saat di sekolah, di rumah, dan di masyarakat. Pendidikan budi pekerti tersebut akan lebih mudah dipraktekkan oleh para siswa jika ada teladan yang baik dari para guru, para orang tua, dan para pemimpin di masyarakat. Faktor keteladanan inilah yang saat ini justru mulai langka dijumpai di Indonesia. Para siswa, melalui pemberitaan di media massa, justru banyak disuguhi contoh buruk perilaku orang tua khususnya para pejabat negara, politisi dan aparat hukum yang bermental korup dan suka menipu rakyat.

Penggunaan Diskresi oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) memerlukan hadirnya lembaga pengawas internal maupun eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh atasan langsung dan atau lembaga inspektorat. Pengawasan eksternal dilakukan oleh lembaga negara yaitu : KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaaan, Komisi Kepolisian, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan), PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), serta lembaga legislatif (DPR, DPD, DPRD). Pengawasan eksternal oleh masyarakat dilakukan lewat lembaga swadaya masyarakat seperti ICW (Indonesian Corruptions Watch), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Greenpeace, MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia), YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), dan lain-lain. Pengawasan eksternal juga dapat dilakukan melalui pemberitaan media massa yang bersifat kritis, investigatif, obyektif dan berimbang. Pengawasan terhadap penggunaan Diskresi bukanlah dimaksudkan untuk menghilangkan “kebebasan” aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Pengawasan tersebut dilakukan justru agar supaya aparat penegak hukum dapat menggunakan Diskresi secara bebas tetapi bertanggung jawab, serta untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan Diskresi.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1). Hukum Lingkungan berfungsi sebagai pemandu aturan dalam upaya Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Penegakan Hukum Lingkunganyang tepat diharapkan dapat mewujudkan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian.

2). Hukum Lingkungan dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial untuk mensukseskan Pembangunan Berkelanjutan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, asalkan diikuti komitmen kuat elit penguasa dan penegak hukum untuk senantiasa bertindak sesuai hukum dan terus berupaya melakukan pembaharuan dan penyempurnaan hukum.

3). Pemanfaatan Diskresi dalam penegakan Hukum Lingkungan, diperlukan untuk mengatasi kelemahan aturan hukum. Penggunaan Diskresi oleh aparat penegak hukum harus diawasi agar tidak diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Pengawasan dapat dilakukan dari dalam (internal) dan dari luar (eksternal). Penggunaan Diskresi harus diarahkan untuk mewujudkan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum.

4.2. Saran

1). Pemerintah dan DPR, dalam melakukan pembaharuan dan penyempurnaan hukum, harus selalu melibatkan unsur masyarakat agar hukum yang dihasilkan benar-benar dapat menjunjung tinggi keadilan dan berpihak kepada kepentingan rakyat banyak.

2) Penggunaan Diskresi bagi aparat Kepolisian dan Kejaksaan harus diatur oleh UU sebagaimana aturan diskresi bagi Hakim yang telah diatur UUD 1945 Pasal 24 (1). Pengaturan yang jelas lewat UU akan dapat mencegah penyelewengan Diskresi.


3) Pendidikan Berimbang dan pendidikan budi pekerti sejak usia dini diperlukan untuk menghasilkan aparat penegak hukum yang berkesadaran tinggi dan mampu menafsirkan hukum sesuai konteks peristiwa dan kondisi sosial-budaya masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, 2006, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Penerbit : CV. Kita, Surabaya.

Danah Zohar, dan Ian Marshall, 2001, SQ : Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dan

Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Mizan, Bandung.

Darmadi Darmawangsa, dan Imam Munadhi, 2008, Fight Like A Tiger, Win Like A Champion, Cetakan ke-10, Penerbit PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Koesnadi Hardjasoemantri, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh, Cetakan ke-17, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Mr. Soetiksno, 2004, Filsafat Hukum, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.

N. H. T. Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, Penerbit : Erlangga, Jakarta.

RM. Gatot P. Soemartono, 1996, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amandemen).

Undang Undang RI Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang Undang RI Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2007, Santun Dulu, Baru Bernegara Hukum, Artikel di Koran Kompas, 17-4-2007.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2007, Hukum dan Totalitas Kehidupan, Artikel di Koran Kompas, Jumat, 11-5-2007.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2007, Hukum Progresif di Jaman Edan, Artikel di Koran Kompas, Rabu, 27-6-2007.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2008, Wajah Hukum Indonesia, Artikel di Koran Kompas, Senin, 28-7-2008.

Makmur Widodo (Dubes RI di PBB), 2001, KTT Dunia Pembangunan Berkelanjutan 2002 Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia Baru, makalah dalam rangka sosialisasi persiapan World Summit on Sustainable Development, 8 September 2001, diakses dari www.indonesiamission-ny.org, tanggal 11-07-2008.

Prof. Satjipto Rahardjo, 2004, Demokrasi Butuh Dukungan Hukum Progresif, Artikel di Koran Kompas, Selasa, 22-6-2004; diakses dari www.kompas.com tgl 25-7-2008.

1 komentar: